Baca Ganja – Isu penyalahgunaan dan pembenargunaan ganja selalu menjadi perdebatan untuk menentukan kebijakan pemanfaatan ganja dan banyak menimbulkan keraguan di tengah masyarakat.
Indonesia saat ini masih berpegang pada ketentuan kebijakan narkotika UU No. 35 Tahun 2009, dimana ganja diklasifikasi sebagai narkotika Golongan 1, jenis narkotika paling berbahaya dengan daya adiktif yang sangat tinggi, dan hanya boleh digunakan untuk penelitian dan ilmu pengetahuan. Sehingga penggunaan ganja untuk alasan pengobatan pun juga akan disebut penyalahgunaan secara hukum.
Namun saat ini penelitian ilmiah menemukan bahwa mengonsumsi ganja tidak lebih berbahaya daripada mengonsumsi alkohol, bahkan penggunaan ganja medis dapat mengurangi ketergantungan penggunaan obat psikotropika Benzodiazepin yang efek sampingnya tidak lebih aman. Selain itu, penelitian menemukan bahwa ganja memiliki banyak manfaat medis seperti mengobati kanker, tumor, gangguan saraf, epilepsi, hingga gangguan kecemasan.
Melihat perbandingan tingkat keamanan antara penggunaan ganja yang lebih aman dari alkohol, serta bukti ilmiah ganja dalam pengobatan, menunjukkan bahwa kebijakan UU penggunaan ganja yang berlaku saat ini, tidak berdasarkan bukti ilmu pengetahuan.
Penyalahgunaan dan Pembenargunaan
Banyaknya manfaat ganja untuk medis yang ditemukan dari literasi pengetahuan dan riset ilmiah, membuat semakin banyak masyarakat yang sadar akan perlunya meregulasi kebijakan pemanfaatan ganja. Namun, tidak sedikit pula yang meragukan legalisasi ganja hanya akan meningkatkan jumlah penyalahgunaan.
Perdebatan antara penyalahgunaan dan pembenargunaan sering dihubungkan dengan penggunaan rekreasional dan medis, yang mana senyawa THC dalam ganja dianggap memabukkan dan penggunaannya cenderung ke arah rekreasional, sedangkan senyawa CBD dinilai lebih memiliki manfaat medis.
Perdebatan antara penggunaan yang benar dan salah, atau penggunaan rekreasional dan medis, hanya akan berujung ke dalam kepalsuan kebijakan, yang mana kebijakan yang dibuat bukan untuk mendistribusikan keadilan secara merata dan mengedepankan prinsip kemanusiaan, melainkan sebagai alat bertransaksi kepentingan.
Dalam kasus yang menjerat Fidelis Arie di tahun 2017 karena menanam ganja untuk menyelamatkan nyawa istrinya yang terkena kanker sumsum tulang belakang, membuktikan bahwa hukum yang berlaku di Indonesia tidak mengedepankan prinsip kemanusiaan, dan secara tidak langsung hukum telah membunuh sang istri yang meninggal setelah 32 hari Fidelis ditahan, karena terputusnya asupan ekstrak ganja yang menjadi satu-satunya harapan untuk bisa sembuh dan bertahan hidup.
Kasus Fidelis yang saat itu mendapat banyak sorotan masyarakat, membawa kesadaran masyarakat untuk mempertimbangkan pemanfaatan ganja. Namun Pimpinan BNN saat itu menentang keras dengan menyudutkan organisasi masyarakat yang mendukung pemanfaatan ganja, dan seharusnya tuduhan itu dapat dibantah dengan dasar literasi pengetahuan.
Jika mengamati perdebatan pemanfaatan ganja, pihak yang menolak cenderung membawa isu mengarah ke dalam makna penyalahgunaan, yang dihubungkan dengan penggunaan rekreasional. Sehingga menimbulkan keraguan dalam masyarakat, bahkan bagi yang awalnya mendukung sekalipun ia mengetahui, tetapi akhirnya ragu untuk mempertanggungjawabkan pikirannya.
Rekreasional dan Medis
Istilah penggunaan ganja rekreasional akhirnya dimaknai negatif, yang diberi stigma bahwa ganja dapat mengganggu kualitas hidup pengguna, baik secara akal, jasmani, rohani, dan bertentangan dengan sosial-budaya. Padahal rekreasional yang berasal dari kata rekreasi, menurut Kamus Besar artinya adalah ‘penyegaran kembali badan dan pikiran’.
Pemisahan antara penyalahgunaan dan pembenargunaan ganja, bahkan diperkuat secara ilmiah lewat jurnal yang dinamakan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM), yang diterbitkan oleh American Psychiatric Association (APA) dalam membuat kriteria standar untuk klasifikasi gangguan mental. Digunakan oleh dokter, psikolog klinis, peneliti, bahkan untuk kepentingan perusahaan farmasi, sistem hukum, dan pembuat kebijakan.
Dalam jurnal edisi kelima berjudul DSM-5, yang diterbitkan pada 18 Mei 2013, mendefinisikan bahwa penyalahgunaan ganja dapat menyebabkan depersonalisasi sebagai gangguan disasosiatif (dissociative disorder). Depersonalisasi adalah proses kehilangan rasa memiliki identitas pribadi dan rasa ketidak melekatan di dalam diri, mengenai pikiran atau tubuh.
Efek penggunaan ganja rekreasional yang dikategorikan oleh Asosiasi Psikiater Amerika sebagai penyalahgunaan ganja lewat jurnal ilmiah, akan selalu menjadi pertimbangan terakhir di tengah masyarakat yang menimbulkan keraguan dalam pemanfaatan ganja, walaupun dalam pemanfaatan medis penggunaan ganja sudah tidak banyak diragukan masyarakat.
Namun jurnal ilmiah DSM-5 banyak menuai kritikan dari institusi atau organisasi penelitian ilmiah lainnya; seperti National Institute of Mental Health yang menilai bahwa jurnal DSM telah digambarkan sebagai ‘Kitab Suci’ yang memastikan setiap dokter atau praktisi menggunakan istilah yang sama dengan cara yang sama, dengan kurangnya validitas.
Selain itu, kritikan juga datang dari British Psychological Society yang memberi respon, bahwa sebagian besar kriteria didasarkan pada norma-norma sosial dengan ‘gejala’ yang semuanya bergantung pada penilaian subjektif, tidak bebas nilai, dan hanya menjadi wujud untuk mencerminkan harapan sosial normatif saat ini.
Penilaian subjektif dan tidak bebas nilai terhadap penyalahgunaan ganja yang tertulis dalam jurnal DSM-5, maka dari itu tidak dapat dibenarkan sebagai pengetahuan ilmiah (scientific knowledge) karena pengetahuan ilmiah sendiri harus berdasarkan penilaian objektif dan bebas nilai (value free), sehingga pemahaman ilmiah menjadi jernih dan tidak menjadi bias.
Depersonalisasi dan Meditasi
Efek depersonalisasi terhadap penyalahgunaan ganja yang dapat membuat seseorang kehilangan rasa memiliki identitas pribadi, atau rasa ketidak melekatan di dalam diri antara pikiran dan tubuh, pun akhirnya dimaknai sebagai hal yang negatif. Padahal proses depersonalisasi sangat berkaitan dengan praktek meditasi.
Jurnal studi penelitian yang diterbitkan National Institute of Health (NIH), berjudul ‘Depersonalization and meditation’ menemukan bahwa praktek meditasi dapat menyebabkan depersonalisasi. Ini membuktikan bagaimana efek penggunaan ganja rekreasional berhubungan dengan keadaan meditatif, dengan memengaruhi keadaan konektivitas dinamis otak.
Studi penelitian juga menemukan bahwa pengalaman depersonalisasi seseorang dalam meditasi, sangat menentukan apakah kecemasan itu hadir sebagai bagian dari pengalaman batin. Dan menyatakan tidak perlu merasakan kecemasan atau gangguan dalam fungsi sosial dan pekerjaan sebagai akibat dari depersonalisasi.
Meditasi melatih menumbuhkan kesadaran dengan mengamati objek yang paling sederhana, yaitu diri sendiri, termasuk mengamati pikiran dan tubuh dengan memberi jarak. Sehingga seseorang dapat menemukan kesadaran baru melampaui hal yang diterima oleh pikiran dan indra manusia yang dibangun oleh ketidaksadaran.
Mengubah Paradigma
Dalam keadaan meditatif, dengan memberi jarak antara diri (self) dengan pikiran dan tubuh, memungkinkan untuk menghasilkan suatu kesadaran baru, yang bukan datang dari imajinasi dan indra (pikiran dan tubuh), tetapi dari pemahaman akan ketiadaan itu sendiri. Pemahaman ini bukan diartikan sebagai sebuah kebenaran, tetapi pemahaman yang memiliki dasar kebenaran.
Menurut Descartes dalam bukunya berjudul Discourse on Method and Meditations on First Philosophy, bahwasanya manusia memiliki keterbatasan (finite) sehingga pemahaman manusia tidak dapat dipastikan benar. Akan tetapi, dengan dapat memahami sesuatu kebenaran dengan jernih dan tanpa bias lewat meditasi, ini membenarkan bahwa benih ketidakterbatasan (infinite) yang bersifat abstrak, hidup di akal manusia sebagai bentuk yang paling adil dimiliki oleh setiap manusia dengan merata.
Ini bisa dibuktikan dari melihat bagaimana semua orang berpikir dirinya dikarunai dengan akal yang berlimpah, dan ini juga berlaku untuk seseorang yang merasa cukup, karena kecukupan ini akan menjadi bukti sebagai pendukung untuk membentuk penilaian yang baik, memisahkan yang benar dan salah, dan sebagai pembenaran bahwa akal di distribusi merata untuk setiap manusia.
Dengan mengamati diri sendiri (self) sebagai objek sekaligus sebagai bentuk refleksi diri, kita akan memahami bahwa sebagai makhluk yang terbatas, maka manusia memiliki sifat ketergantungan yang membenarkan bahwa manusia adalah bagian dari alam itu sendiri, dimana prinsip beketergantungan dan menjaga itu melekat dalam diri manusia.
Seharusnya dalam isu pemanfaatan ganja, hal yang perlu diberi perhatian bukanlah memisahkan penggunaan rekreasional dan medis atau menentukan penggunaan yang benar dan salah. Melainkan bagaimana memanfaatkan ganja sebagai alat untuk mendorong kesejahteraan hidup manusia, karena dalam tumbuhan ganja terdapat spirit of master plant yang membawa pengetahuan (wisdom) untuk manusia.