Filosofi Ganja: Bertemunya Alam Pikiran dan Alam Semesta

Baca Ganja – Membahas tumbuhan ganja dari sisi filosofi sebagai paradigma untuk menemukan pikiran baru dan menyesatkan di jalan yang benar.

filosofi ganja

Berbicara soal filosofi dan ganja tidaklah mudah, apalagi berbicara soal filosofi ganja, karena kedua hal ini memiliki kesamaan yaitu kontroversi. Kontroversi ganja muncul dalam berbagai narasi; misalnya antara pengunaan medis dan rekreasi, atau perdebatan itu muncul dari cara penggunaan ganja itu sendiri (penggunaan yang benar dan salah). Namun soal tersebut sudah diuraikan dalam artikel berjudul ‘Penyalahgunaan dan Pembenargunaan Ganja: Depersonalisasi dan Meditasi‘ dengan cukup jelas sehingga tidak perlu lagi tambahan penjelasan panjang-lebar mengenai hal itu dalam uraian ini. Selain dari dunia sains, kontroversi juga datang dari dunia sejarah dimana indikasi penggunaan ganja dalam dunia keagamaan awal mula masih menjadi perdebatan para ilmuwan agama dan sejarah hingga saat ini.

Sedangkan dalam soal filosofi, justru kontroversi itu ditemukan dalam filosofi itu sendiri dalam bentuk spekulasi atau dugaan, dan untuk menjawab spekulasi tersebut memerlukan filosofi itu sendiri. Bertrand Russell dalam bukunya berjudul ‘A History of Western Philosophy‘ mengatakan bahwa filosofi adalah sesuatu yang dihimpit atau diserang dari dua sisi, antara teologi dan sains: maka dari itu filosofi memiliki sifat teologi yang menganggap pengetahuan yang pasti adalah ketidakpastian; namun sama seperti sains, filosofi lebih menarik bagi akal manusia karena ia tidak terikat dengan otoritas seperti tradisi atau pengwahyuan (revelation). Karena teologi mengganggap pengetahuan yang pasti adalah ketidakpastian maka pengetahuan itu ditumpukan terhadap sains (seperti pada Masa Pencerahan Eropa), dan semua dogma yang melampaui pengetahuan yang pasti adalah milik teologi.

Uraian diatas adalah penjelasan singkat tentang filosofi dan ganja yang tampak rumit untuk dipahami. Tujuannya sebagai dasar pemahaman untuk menerangkan lebih jauh tentang filosofi, ganja, dan nilai filosofis ganja untuk mendapatkan pengetahuan atau paradigma baru dalam memaknai ganja atau filosofi itu sendiri, sebagai alat metode berpikir menghasilkan konsep baru.

Filosofi Ganja

Jika berbicara filosofi yang identik dengan ganja pada umumnya yang dikenal orang adalah Rastafari, dipopulerkan oleh musisi reggae dunia, Bob Marley, lewat lagu dan kata-katanya. Namun dalam uraian ini, filosofi akan dijelaskan secara lebih luas agar pembaca dapat menerima dengan baik pemahaman ini. Seperti yang sudah diterangkan diawal, filosofi adalah produk dari teologi dan sains yang artinya juga, filosofi adalah bagian kecil dari seluruh nilai teologi keagamaan di dunia.

Jadi, maksud dari berfilosofi atau berfilsafat bukanlah untuk melampaui pengetahuan yang tak terbatas milik teologi, melainkan ia mengetahui bahwa dirinya tidak mengetahui apapun (terbatas) di dunia ini, dan hanya ketidakpastian adalah salah satunya pengetahuan yang pasti sehingga manusia menggunakan akal untuk melakukan penyelidikan ilmiahnya, dan pengetahuan yang melampaui hal yang pasti ditempatkan pada pengharapan dalam nilai teologi.

Uraian diatas adalah penjelasan maksud dari filosofi secara objektif. Secara subjektif, makna filosofi dapat diartikan secara berbeda dari satu filsuf dengan filsuf lainnya, atau pemikiran filsafat yang satu berbeda dengan yang lainnya. Dalam sejarah filsafat Dunia Barat, yang membedakan pemikiran-pemikiran para filsuf secara luas berhubungan dengan proporsi dimana kedua faktor ini (teologi dan sains) mempengaruhi konsep mereka, tetapi memang demikianlah kehadiran keduanya tersebut dalam beberapa hal yang menjadi ciri atau karakter filsafat.

Filosofi sebagai Sumber Pengetahuan Pikiran

Salah satu contoh filsafat yang memiliki perbedaan proporsi dalam aspek teologis dan sains adalah antara paham filsafat rasionalisme Rene Descartes dan filsafat empirisme John Locke; rasionalisme meyakini letak sumber pengetahuan manusia berasal dari akal pikiran yang tidak terlepas dari aspek teologis, sedangkan empirisme meyakini letak sumber pengetahuan berasal dari pengalaman indrawi manusia yang tidak terlepas dari pembuktian ilmiah.

Rene Descartes yang populer dengan kalimatnya, cogito ergo sum (i think therefore i am) yang artinya ‘aku berpikir maka aku ada’, mengatakan bahwa sumber pengetahuan manusia berasal dari akal. Ia berpendapat bahwa akal sehat atau pikiran (good sense) adalah segala hal di dunia ini yang dibagikan paling merata atau adil, karena bagi setiap manusia berpikir mereka dikaruniai dengan akal yang berlimpah, dan ini juga berlaku untuk seseorang yang merasa cukup dengan akal yang dimilikinya sehingga ukuran kecukupan ini akan menjadi bukti pendukung untuk membentuk penilaian yang baik agar dapat memisahkan yang benar dan salah. Karena sebab itu pula, ini akan menunjukkan bahwa keberagaman pendapat antara satu dengan yang lainnya bukanlah berasal dari seseorang yang lebih rasional dari yang lainnya, tetapi hanya semata-mata sebuah fakta bahwa pikiran manusia melalui ruang pikiran atau tunel yang berbeda-beda dan objek yang sama tidak dipertimbangkan oleh semua orang.

Sedangkan John Locke yang populer dengan konsep tabula rasa, berpendapat bahwa awal mula manusia dilahirkan seperti kertas putih. Maka dari itu segala pengetahuan manusia hanya berasal dari pengalaman indrawi dan tidak ada ide bawaan yang terdapat dalam manusia saat mereka dilahirkan. Penerapan paham empiris dalam praktek ilmu pengetahuan berperan penting sebagai metode untuk menemukan validasi pengetahuan baru, contohnya seperti Carl Sagan, ilmuwan yang menggunakan ganja dan menuliskan riset akan pengalamannya dalam jurnal ilmiah.

Membentuk Penilaian Berdasarkan Pengetahuan Pikiran

Perbedaan paham rasionalis dan empiris kemudian dikombinasikan oleh Immanuel Kant sebagai ide baru bagaimana manusia mendapatkan sumber pengetahuannya. Kant menggabungkan pengetahuan rasional dan empiris pada teori penilaian analisis dan penilaian sintesis. Ia menjelaskan penilaian (judgment) terbagi menjadu dua hal, sama seperti sebuah pengetahuan terbagi menjadi a priori (pengetahuan rasional tanpa membutuhkan pengalaman) dan aposteriori (pengetahuan empiris yang membutuhkan pengalaman).

Penilaian analitik (analytical judgment) adalah penilaian yang predikatnya (pernyataannya) sepenuhnya terkandung dalam subjek sebuah konsep dan merupakan pengetahuan a priori (rasional). Contoh penilaian analitik adalah seperti kita mengatakan ‘segitiga memiliki tiga sisi’, dimana predikatnya (yaitu ‘tiga sisi’) sepenuhnya terkandung dalam subjek sebuah konsep (yaitu ‘segitiga’); atau contoh lainnya seperti ‘ganja adalah tumbuhan’, dimana bagian dari predikat (yaitu ‘tumbuhan’) sepenuhnya terkandung (bagian dari) dalam subjek sebuah konsep (yaitu ‘ganja’).

Penilaian sintesis (synthetic judgment) adalah penilaian yang predikatnya tidak sepenuhnya terkandung dalam subjek sebuah konsep. Contoh penilaian sintesis adalah seperti kita mengatakan ‘gula berwarna putih’, dimana predikatnya (yaitu ‘warna putih’) tidak sepenuhnya benar terkandung dalam subjek konsep (yaitu ‘gula) karena tidak semua gula berwarna putih. Adapun contoh lainnya seperti ‘ganja adalah narkotika berbahaya’, dimana kalimat ini tidak sepenuhnya benar karena predikatnya (‘narkotika berbahaya’) tidak sepenuhnya terkandung dalam subjek konsep (yaitu ‘ganja’); justru sebaliknya riset ilmiah dunia menunjukkan ganja memiliki manfaat medis.

Fungsi filosofi adalah menguji kembali kebenaran yang kita yakini melalui proses bernalar, dan produk pikirannya tidak terlepas dari proporsi teologis dan sains sehingga ia menjadi penyeimbang diantara keduanya. Dan sifat keseimbangan dari filosofi sendiri adalah sifat utama dari alam (nature) yang menjadi pondasi dari siklus kehidupan dunia. Seperti yang sudah diuraikan dalam artikel berjudul ‘Equilibrium: Mengenal Keseimbangan lewat Pengetahuan dan Visi Etis Agama‘, dimana keseimbangan diperlukan agar tidak menghasilkan kontradiksi dari ketidakseimbangan.

Pengetahuan Alam Semesta dan Alam Pikiran

Jika mengamati bagaimana proses siklus kehidupan di alam semesta, kita menemukan bahwa siklus kehidupan tidak terlepas dari adanya keseimbangan. Tubuh manusia juga memerlukan keseimbangan agar kerja biologis tubuh manusia tidak terganggu; seperti waktu tidur yang cukup, suhu tubuh normal, suasana hati (mood) stabil, dan mengatur asupan gizi. Keadaan seimbang ini disebut homeostatis, merupakan suatu keadaan yang mempertahankan kondisi stabil.

Sifat homeostatis dalam tubuh manusia diregulasi oleh sistem biologis yang juga menghasilkan senyawa yang mirip dengan senyawa ganja, disebut Endocannabinoid System (ECS). Berasal dari kata ‘endo-‘ yang artinya dari dalam, dan ‘cannabinoid’ yang merupakan nama umum senyawa ganja (termasuk THC/CBD). Singkatnya, sistem endocannabinoid yang mengatur kualitas tidur, suhu tubuh, mood, atau rasa kenyang seseorang. Dan di bagian ECS pula senyawa ganja berinteraksi dengan manusia lewat aktifasi reseptor CB1 di sistem saraf  pusat sehingga merubah keadaan konektivitas dinamis kerja otak, karena senyawa THC pada ganja memiliki afinitas (daya ikat) yang sangat tinggi terhadap reseptor CB1.

Senyawa ganja yang mengaktifkan reseptor CB1 juga meningkatkan konektivitas otak di bagian precuneus; berkaitan dengan kesadaran manusia khususnya proses refleksi diri. Dalam artikel berjudul ‘Pengetahuan Ganja‘ telah dijelaskan bagaimana ganja mempengaruhi cara kerja pikiran manusia sehingga menghasilkan refleksi pikiran yang biasanya dapat dicapai dengan melakukan praktek meditasi; atau dalam keadaan meditatif.

Saat dalam keadaan meditatif, segala sesuatu akan berjalan stabil atau seimbang sehingga kita dapat secara jelas mengamati objek pikiran kita. Seperti halnya Descartes yang bermeditasi untuk menghasilkan pemikiran luar biasa yang dianggap sebagai suatu pencerahan pemikiran di zamannya. Ia meyakini bahwa dalam ilmu pengetahuan (sains) mengandung nilai abstraksi wujud kesempurnaan yang tidak terbatas; yang artinya wujud kesempurnaan itu dapat di terapkan dalam ilmu pengetahuan (geometri, matematika, sains); sebagaimana wujud sempurna dari segitiga sama sisi yang memiliki panjang sisi yang sama.

Keseimbangan sebagai Wujud Kesempurnaan

Setiap makhluk hidup memerlukan keseimbangan untuk mempertahankan eksistensinya di bumi. Sama seperti ganja yang telah lebih dulu eksis keberadaannya daripada kehidupan manusia, telah melalui proses evolusi untuk bertahan hidup. Ganja sendiri sebagai tumbuhan tentu juga memiliki sistem biologisnya agar menjaga keberadaan eksistensinya di bumi, contohnya metabolit yang dihasilkan ganja; seperti cannabinoid, terpene, flavonoid, dan sterol yang berperan penting dalam kehidupan ganja sebagai tumbuhan.

Ganja juga berfungsi sebagai penyeimbang untuk ekosistem alam, dimana sisa-sisa olahan tanaman ganja dapat menjadi penyubur kualitas tanah; sebagai mulsa penghasil nutrisi bagi tanaman atau sebagai tanaman pendamping (cover crop) yang berfungsi mengusir hama serangga tanaman (insektisida). Melihat dari sudut pandang ini, ganja sebagai tumbuhan bukan hanya dapat dimanfaatkan untuk kehidupan manusia tetapi juga memiliki manfaat untuk ekosistem lingkungan yang telah rusak akibat dari hilangnya keseimbangan alam karena diracuni manusia lewat zat kimia sintesis yang dihasilkan; baik untuk kebutuhan sehari-hari, industri, ekonomi.

Keseimbangan dalam ilmu pengetahuan pun diperlukan, karena tanpa adanya keseimbangan maka ilmu pengetahuan dapat menjadi alat untuk mengeksploitasi karena sifat sains yang bebas dari nilai (value-free) dan objektif. Uraian bagaimana ilmu pengetahuan mengeksploitasi alam dan manusia telah dijelaskan dalam artikel berjudul ‘Feminitas Ganja: Nilai Etis dalam Menemukan Pengetahuan Baru’, yang mana uraian ini banyak dipengaruhi oleh konsep ekofeminisme dalam salah satu buku karya Vandana Shiva dan Maria Mies.

Dari uraian diatas tampaknya dapat cukup dipahami bahwasannya ganja sebagai tumbuhan memiliki pengetahuan (wisdom) dalam dirinya sebagai tumbuhan, yang membawa nilai keseimbangan sebagai esensi sifat alam semesta. Salah satu contohnya adalah bagaimana senyawa cannabinoid berperan aktif sebagai alat bertahan hidup ganja dan membawa nilai keseimbangan bahkan bagi tubuh manusia, dimana tubuh manusia sendiri juga menghasilkan senyawa yang mirip dengan cannabinoid, yaitu endocannabinoid.

Walaupun filosofi dan ganja sama-sama memiliki kontroversi, namun filosofi dan ganja sama-sama memiliki nilai keseimbangan yang bukan hanya menjadi dasar sebuah siklus kehidupan, tetapi juga menjadi alat untuk menemukan sebuah kebenaran sekalipun berjalan di jalan yang sesat.

Tinggalkan komentar

Sharing is caring