Indonesia Hijau: Berangkat dari Tuntutan Globalisasi atau Paradigma?

Baca Ganja – Globalisasi sadar bahwa bumi semakin dekat dengan bahaya krisis iklim dan lingkungan, dan negara industri di Eropa mendukung Indonesia melestarikan hutan sebagai ganti dari polusi yang dihasilkannya. Namun apakah Indonesia hijau hanya berangkat dari tuntutan globalisasi atau paradigma?

indonesia hijau

Krisis iklim dan lingkungan telah menjadi perhatian dunia, dan jika bumi tidak cepat diselamatkan maka diprediksi pada tahun 2050 seluruh manusia di dunia akan hidup di tengah kota yang banjir dan memaksa penduduk bermigrasi. Juga di tahun yang sama diprediksi kota Jakarta akan tenggelam, namun ide untuk memindahkan fisik ibukota ke wilayah yang baru, justru hanya akan menambah kerusakan ekosistem lewat aktivitas pembangunan.

Bukti isu ini menjadi perhatian serius negara di dunia adalah dengan menandatangani Persetujuan Paris dalam mengurangi emisi pelepasan karbon dioksida. Salah satu persetujuannya adalah dengan mencapai upaya dalam membatasi perubahan kenaikan temperatur bumi hingga setidaknya 1.5 derajat Celcius yang disebabkan emisi industri dan rumah kaca.

Dari persetujuan ini kemudian banyak perusahaan industri besar dunia seperti Alphabet mulai berkomitmen menurunkan emisi pencemaran lingkungan lewat perdagangan carbon (carbon trading). Dan Indonesia sebagai negara pemilik hutan, juga menarik minat negara industri dalam perdagangan karbon, lewat inisiatif Restorasi Ekosistem melalui pemerintah dengan turut membantu membiayai pelestarian hutan.

Carbon Trading: Inisiatif Industrialisasi Menyelamatkan Bumi

Perdagangan karbon (carbon trading) adalah perdagangan emisi karbon antar-negara untuk mengurangi jumlah emisi global yang dapat memicu perubahan iklim dan pemanasan global. Dalam perdagangan karbon, 1 ton karbon dioksida bernilai sama dengan 1 kredit karbon, dan kredit ini diberikan kepada seluruh perusahaan industri untuk memiliki hak mengeluarkan polusi sesuai dengan batas kredit karbon yang dimiliki.

Apabila perusahaan industri menghasilkan emisi karbon dioksida melebihi batas regulasi yang ditentukan, maka mereka wajib menambah kredit karbon yang disebut carbon offset, yang juga merupakan investasi dari perusahaan industri penghasil emisi karbon untuk mengurangi emisinya sendiri; melalui kerjasama dengan pihak ketiga yang dapat menghasilkan kredit karbon.

Carbon offset memungkinkan perusahaan industri untuk menyeimbangkan dampak iklim dan memberi kompensasi emisi yang mereka hasilkan. Ini dicapai dengan menjaga dan memulihkan lingkungan hidup di wilayah lain untuk menambah jumlah kredit karbon, sebagai ganti atas emisi yang dihasilkan di wilayah industri itu berada.

Contoh kerjasama di Indonesia dalam perdagangan carbon offset adalah perusahaan Volkswagen (Jerman) dengan Katingan Mentaya Project, lewat perlindungan dan restorasi hutan tropis yang melindungi 149.800 hektar hutan lahan gambut tropis yang terletak di Kalimantan Tengah. Kerjasama ini melarang penebangan pohon, menambang, atau membuka perkebunan monokultur di wilayah restorasi agar hutan dapat menyerap karbon.

Dukungan negara-negara industri Eropa terhadap negara pemilik hutan seperti Indonesia, merupakan peluang yang baik untuk memulihkan dan merawat keadaan hutan Indonesia yang semakin berkurang akibat deforestasi. Namun di sisi lain, pemerintah masih memberikan peluang potensial terhadap kerusakan hutan lewat kebijakan Omnibus law.

Komitmen perusahaan industri dunia untuk menjaga lingkungan lewat perdagangan karbon, tampaknya adalah sebuah keharusan yang dituruti apabila ingin memulihkan keadaan bumi dan untuk memperlambat ancaman lingkungan yang telah di prediksi oleh metodologi ilmiah atau sains. Ini membuktikan terbentuknya sebuah kesadaran baru dalam globalisasi.

Tuntutan Globalisasi

Jika membandingkan besarnya kesadaran globalisasi terhadap krisis iklim dan lingkungan, dengan kebijakan di Indonesia yang sebaliknya potensial mendukung kerusakan lingkungan, dapat diartikan bahwa konsep Indonesia hijau diawali oleh inisiatif globalisasi dan bukan dari kesadaran pemerintah. Ini buruk jika sebagai gambaran kapasitas akal sebuah republik, yang nasibnya hanya bergantung pada tuntutan globalisasi dari masa ke masa.

Mungkin pemilihan kata ‘dituntut’ dinilai berlebihan, namun ini hanya untuk mempertegas fakta bahwa, yang membentuk kondisi sosial, ekonomi, dan lingkungan Indonesia hingga saat ini, baik ataupun buruk, tidak terlepas dari intervensi globalisasi sejak sebelum kemerdekaan Indonesia. Dimulai pada era abad ke-15, ditandai dengan masuknya Portugis kemudian Inggris dan Belanda yang mula-mula karena minat akan komoditi rempah-rempah, lalu dengan lahirnya Revolusi Industri eksploitasi pun meningkat.

Sejarah mencatat dengan baik bagaimana VOC, sebuah perhimpunan perusahaan-perusahaan kapital Eropa saat itu, mengeksploitasi alam dan masyarakat Indonesia; monopoli lewat berbagai cara, misalnya sistem tanam paksa dan memanfaatkan budaya sosial masyarakat yang feodal. Kemudian saat runtuhnya VOC akibat utang dan korupsi, pemerintah Belanda membebani semua kerugian tersebut kepada Indonesia (saat itu disebut Hindia-Belanda).

Walaupun Indonesia akhirnya telah merdeka dan berdaulat, namun eksploitasi dalam esensinya terus berlanjut hingga hari ini. Bahkan eksploitasi telah melekat dalam hal yang paling mendasar, yaitu kebijakan negara dengan Omnibus law-nya. Nyatanya, eksploitasi menjadi benang merah yang menghubungkan keadaan zaman pemerintahan kolonial dan rezim saat ini.

Membangun Indonesia Hijau

Uraian diatas menunjukkan bahwa eksploitasi masih melekat erat dalam tubuh Repubik Indonesia sekalipun ia telah mengakui dirinya berdaulat sejak tahun 1945, dan sekarang ia seperti tubuh yang sakit menggerogoti dirinya sendiri. Peristiwa yang tercatat dalam sejarah bangsa ini pun akhirnya menjelaskan bagaimana eksploitasi manusia terhadap manusia menyebabkan eksploitasi manusia terhadap alam, yang dapat menjadi alat untuk melenyapkan peradaban.

Berangkat dari pemahaman eksploitasi yang terjadi di Indonesia, kita akan menemukan secara lebih luas bahwa eksploitasi yang dilaksanakan oleh siapapun di zaman apapun adalah untuk sebuah nilai, keuntungan. Karena nilai inilah eksploitasi dilaksanakan, yang semakin ekspansif dan meningkat secara eksponensial sebagaimana berkembang pesatnya industri dan teknologi dengan dorongan kapital, baik yang terjadi di Indonesia ataupun dunia.

Meningkatnya eksploitasi secara eksponensial akibat industrialisasi, sebanding dengan meningkatnya akumulasi keuntungan. Namun tidak ada, atau hampir tidak ada yang tersisa, yang diberikan kembali kepada sang alam sebagai pemilik asal material (raw material). Eksploitasi yang dilakukan terhadap alam secara terus-menerus akhirnya menyebabkan kerusakan lingkungan dan berdampak terhadap kehidupan sosial-ekonomi masyarakat sekitar.

Paradigma Ekosentris

Ada kontradiksi yang ditemukan dalam kerja sama perdagangan karbon dengan Omnibus law yang disahkan; di satu sisi, perdagangan karbon mendukung pemulihan lingkungan, di sisi lain, Omnibus law berpotensi merusak lingkungan. Akan tetapi faktanya ada satu nilai yang menghubungkan dua hal yang kontradiktif ini, yaitu keuntungan.

Nilai keuntungan inilah yang hanya menjadi patokan pemerintahan saat ini, tanpa mempertimbangkan adanya kontradiksi di dalamnya. Dengan memahami kontradiksi ini dan menyadari lingkungan semakin terancam, maka diperlukan suatu nilai baru untuk membebaskan Indonesia dari segala eksploitasi, yaitu paradigma ekosentris yang memusatkan etika pada komunitas ekologis.

Kerangka berpikir ekosentris adalah perspektif yang menempatkan hakikat keberadaan kepada semua organisme hidup dan lingkungan alamnya, terlepas dari apakah ia memiliki keuntungan bagi manusia. Ekosentris merupakan paradigma etis dengan memberi rasa hormat dan kepedulian kepada semua kehidupan; seperti menghargai hak sungai untuk mengalir, hak pohon untuk hidup dan tidak ditebang, atau hak cacing untuk menggemburkan tanah.

Dengan kerangka berpikir ekosentris, kita dapat menemukan nilai-nilai baru yang bukan berdasarkan nilai keuntungan, tetapi nilai kebermanfaatan yang memulihkan dan merawat suatu ekosistem dengan memberdayakan komunitas masyarakat dan kearifan lokal. Ini mengingat bagaimana Indonesia memiliki beragam budaya lokal, dan sepatutnya pula tiap-tiap kebudayaan lokal dilestarikan dengan prinsip ekosentris.

– Indonesia Hijau

Tinggalkan komentar

Sharing is caring