Baca Ganja – Uraian yang berisikan jalan pikiran mengenai hak dasar setiap manusia untuk memilih ganja sebagai pengobatan bagi dirinya sendiri dan soal legalisasi saat ini.
Yang dimaksud dengan hak dasarnya adalah tentang keberadaan kehendak bebas (free will) di dunia. Hak tersebut melekat dalam setiap makhluk hidup untuk memiliki kebebasan; baik kebebasan untuk hidup dan memilih (freedom), serta bebas dari penindasan yang dilakukan oleh penguasa tirani (liberty).
Hak menggunakan ganja adalah bagian dari freedom, yaitu hak individu untuk memilih pengobatan ganja untuk dirinya sendiri. Sedangkan soal legalisasi ganja adalah bagian dari liberty, yaitu hak seorang pengguna ganja untuk bebas dari segala bentuk tindakan diskriminatif yang mengatasnamakan hukum sebagai otoritas tertinggi.
Catatan jurnal ilmiah dan sejarah tentang ganja di dunia menunjukkan bahwa hubungannya dengan manusia memiliki tingkat hubungan yang aman dan potensial bermanfaat medis, bahkan hubungan antara ganja dan manusia telah terjalin ribuan tahun yang lalu sebelum peradaban manusia memasuki tahun Masehi.
Dari salah satu nama spesies latin ilmiah tanaman ganja, dapat ditemukan bukti hubungannya yang telah terjalin lama dengan peradaban manusia, yaitu spesies Cannabis sativa; sativa merupakan bahasa latin dengan kata sifat yang artinya budidaya tanaman yang memiliki manfaat kesehatan. Contoh lain spesies tanaman yang memiliki nama latin ilmiah sativa adalah padi (Oryza sativa), selada (Lactuca sativa), mentimun (Cucumis sativus), kunyit kering (Crocus sativus), dan bawang putih (Allium sativum).
Hak Ganja bagi Seluruh Manusia

Keberadaan tumbuhan ganja juga tercatat dalam beberapa teks kuno kebudayaan di nusantara, bahkan sebelum negara Indonesia terbentuk. Seperti dalam kitab kuno Tajul Muluk yang menjadi buku pengobatan tradisional masyarakat Aceh; dan dalam catatan ahli botani bernama Rumphius dalam bukunya berjudul ‘Herbarium Amboinese‘ di Maluku. Kedua catatan ini diperkirakan dibuat pada sekitar abad ke-17. Adapun juga indikasi penggunaan ganja dalam pengobatan tradisional Bali yang perlu dikaji kembali dengan mendalam.
Walaupun ganja telah menjadi pengobatan tradisional dalam kebudayaan masyarakat seperti di Aceh — bahkan sebelum negara Indonesia terbentuk — yang terjadi sampai saat ini adalah pemusnahan terhadap budaya tradisional masyarakat dengan membumihanguskan ganja daripada mendukung dan memberdayakan masyarakat dengan memanfaatkan ganja dan berinovasi. Tindakan arogan dari pemerintah ini akhirnya membuat masyarakat lokal tidak dapat melestarikan dan mengembangkan ilmu pengetahuan tradisional (local wisdom) yang telah diwariskan turun-temurun.
Kasus penggunaan ganja di tahun 2017 yang sempat menjadi perhatian masyarakat banyak; yaitu usaha seorang suami bernama Fidelis yang berhasil menyembuhkan penyakit istrinya dengan pengobatan ganja, pun mendapatkan diksriminasi yang akhirnya pemerintah secara tidak langsung membunuh sang istri karena tidak lagi mendapatkan akses pengobatan ganja, dan di waktu yang sama suami harus dibui dalam penjara.
Sedangkan pada tahun yang sama di akhir tahun, pemerintah Thailand mencanangkan legalisasi ganja berdasarkan paradigma budaya pengobatan tradisional masyarakat; dimana saat ini masyarakat bebas menggunakan, memiliki, dan membudidayakan tanaman ganja — namun saat ini setelah artikel diterbitkan telah ada rencana larangan penggunaan ganja rekreasional dari Perdana Menteri Thailand yang baru.
Baca juga artikel lainnya:
– Ganja sebagai Alternatif Pengobatan Benzodiazepin
– Kontroversi dalam istilah Penyalahgunaan Ganja
Hak Menggunakan Ganja adalah Hak Asasi
Jika melihat kembali jejak awal sejarah kehidupan peradaban manusia di seluruh bumi, awal mulanya pada zaman purba manusia mengenali cara berburu, bercocok tanam, tradisi ritual, dan barulah pada akhirnya mengenali gagasan atau ide; baik tentang keagamaan dan kesatuan kemanusiaan dalam kehidupan berwarganegara.
Peradaban manusia telah menggunakan dan membudidayakan tanaman ganja sejak mereka mengenal cara bercocok tanam sekitar sepuluh ribuan tahun yang lalu (zaman Neolitikum). Keberadaan ganja juga digunakan dalam ritual budaya keagaamaan kuno; seperti dalam tradisi Hindu, dan tradisi ritual Yahudi kuno yang sedikit banyak sumber ajarannya mempengaruhi lahirnya awal agama Kristen dan Islam.
Jejak ini membuktikan bahwa manusia telah menggunakan ganja sebelum hadirnya dan terbentuknya bermacam-macam negara seperti saat ini, dan juga membuktikan bahwasannya menggunakan ganja adalah hak dasar kodrati (asasi) manusia untuk memilih dan membudiyakan ganja untuk digunakan sebagai pengobatan ataupun konsumsi bagi dirinya sendiri.
Hak dasar kodrati ini juga disebut sebagai hak alamiah (natural rights) seperti dalam gagasan seorang filsuf asal Inggris — yang juga penggagas awal filsafat empiris — bernama John Locke, dengan prinsip bahwa setiap manusia memiliki hak untuk hidup, bebas, dan properti; termasuk juga hak untuk bebas memilih dan membudidayakan ganja sebagai pengobatan bagi dirinya sendiri.
Soal Legalisasi Ganja
Setiap negara memiliki kebijakan hukumnya masing-masing yang dihasilkan lewat proses politik, dan sejarah awal legalisasi ganja di dunia justru pertama kali dimulai dari kebijakan larangan ganja pada tahun 1925 dalam Konvensi Opium Internasional kedua; dimana ganja diklasifikasi sama dengan opium (candu) dan produk turunannya — padahal tanaman ganja dan candu berbeda.
Negara yang mendukung perjanjian ini adalah Italia, Amerika Serikat, dan Afrika Selatan; sedangkan India dan negara lain yang memiliki sejarah kebudayaan dan tradisi dengan ganja, menolak. Amerika yang saat itu sebagai negara adidaya, juga menciptakan propaganda anti-ganja terhadap masyarakatnya sendiri dengan mengkambinghitamkan dan mendiskriminasi sekelompok suku/etnis tertentu.
Sedangkan saat itu, dunia tengah memasuki suasana Perang Dunia ke-2 hingga di tahun 1960-an lahirlah kebudayaan baru yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan antar warganegara dunia; yang melahirkan tokoh pejuang hak sipil Marthin Luther King Jr., musisi John Lennon dengan lagunya ‘Imagine‘; hingga gerakan anak muda saat itu yang disebut hippies.
Gerakan perjuangan legalisasi ganja saat itu melebur dengan perjuangan hak-hak asasi dan isu sosial lainnya, dimana pasca berakhirnya Perang Dunia ke-II, situasi global menjadi krisis akibat dari perang dan industrialisasi yang menimbulkan penindasan dan kerusakan; baik terhadap manusia dan lingkungan. Akhirnya gerakan legalisasi ganja melebur dengan gerakan masyarakat bawah atau akar rumput (grassroot) yang membawa nilai kemanusiaan dan lingkungan.
Legalisasi lewat Kacamata Politik di Indonesia
Kebijakan hukum di suatu negara merupakan hasil dari produk politik yang dalam prosesnya melibatkan peran seluruh warganegara-nya, dan karenanya politik yang sehat menghasilkan kebijakan hukum yang sehat; juga sebaliknya, politik yang penuh dengan transaksional menghasilkan hukum yang bertumpu pada nominal.
Politik di Indonesia tidak berfungsi sebagai pendidikan kewarganegaraan, melainkan tempat bertransaksi kepentingan. Sehingga kualitas menjadi kuantitas, nilai dan mutu akhirnya pergi kepada hanya sekadar jumlah. Bukti nyata ini dapat dilihat dari syarat ambang batas pencalonan presiden (presidential treshold), dimana hanya partai yang memiliki minimal perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR yang bisa mencalonkan presiden.
Akibat dari ambang batas pencalonan presiden 20% ini, maka calon presiden ditentukan oleh kelompok partai penguasa, dan dibalik ketentuannya ada kepentingan transaksi dibelakangnya. Bukti ini dapat dilihat dengan jelas di keadaan sekarang — dimana hingga saat artikel ini ditulis — hanya Anies Baswedan yang siap mendaftar calon presiden karena sudah memiliki wakilnya, Muhaimin Iskandar (Cak Imin). Sedangkan Ganjar dan Prabowo masih belum mengusung wakilnya yang bisa saja dikarenakan adanya transaksi yang belum final.
Apalagi dibawah pemerintahan Jokowi saat ini tidak mengindahkan demokrasi, dengan gaya sopan-santun dan nilai feodal membawa republik ke dalam despotisme; oposisi juga dilarang dan kritik disumpal dengan hukum pidana menggunakan KUHP yang mengkodefikasi pasal berita bohong dari UU Nomor 1 Tahun 1946 buatan zaman kolonial pasca kemerdekaan Indonesia.
Politik yang penuh transaksi pada akhirnya saling mengunci kepentingan, sehingga hal-hal mengenai kepentingan masyarakat ditendang jauh-jauh, kemudian memenggal demokrasi; dimana kritik dan suara hak asasi dianggap mengganggu pemerintah. Dalam politik seperti ini, maka legalisasi ganja untuk nama kemanusiaan tidak akan pernah terjadi; yang terjadi adalah hukum diukur dengan nominal bukan nilai.
Contoh Legalisasi di Amerika Serikat, Uruguay, dan Thailand
Legalisasi ganja adalah soal hak asasi, dimana setiap orang bebas memilih pengobatan untuk dirinya sendiri (self-care). Dan proses legalisasi di masing-masing negara berbeda, karena tergantung dari proses politiknya. Contohnya dapat dilihat dari negara yang telah melegalkan ganja; seperti Amerika Serikat, Uruguay, dan Thailand.

Amerika Serikat sebagai negara perserikatan memiliki dua sistem kebijakan hukum; yaitu hukum yang berkaitan dengan hal yang konstitusional (federal), ataupun hukum yang diregulasi oleh masing-masing negara bagian. Secara konstitusional, ganja masih digolong ilegal — sejak pemerintah memulai propaganda anti-ganja — tetapi setiap negara bagian AS memiliki regulasi legalisasi ganja-nya sendiri, dimana perbandingan saat ini lebih banyak negara bagian yang melegalisasi ganja; baik medis atau rekreasional, daripada yang ilegal.
Di Uruguay, ganja pertama kali legal di tahun 2013 dimana masyarakat dapat menggunakan dan menanamnya hingga enam pohon di rumah. Kebijakan legalisasi berubah di bawah kepemimpinan Presiden Jose Mujica saat itu, yang merupakan tokoh politik dengan paham sosialis Marxis dan kesetaraan manusia.
Sedangkan legalisasi ganja di Thailand sedikit unik jika melihat keadaan politiknya, yaitu bentuk negara monarki dan politiknya cenderung dikuasai oleh partai yang diusung oleh pihak militer. Namun hal ini tidak menghambat legalisasi ganja, dimana partai yang berkuasa saat itu, Bhumjaithai Party, mendukung legalisasi berdasarkan nilai kebudayaan tradisional Buddhisme; seperti yang ditulis dalam penelitiannya, ‘memberikan akses pengobatan ganja adalah bentuk kasih sayang sesama manusia karena dapat membantu dalam menenangkan, mengurangi rasa nyeri, dan bertahan hidup dengan pengobatan holistik’.

Legalisasi Ganja adalah tentang Nilai Kemanusiaan
Walaupun pandangan dan proses politik dari contoh tiga negara diatas masing-masing berbeda, namun legalisasi ganja tidak terlepas dari nilai kemanusiaan dan kebudayaan. Amerika Serikat dan Uruguay dengan bentuk pemerintahan demokrasi, melegalkan ganja dengan menempatkan nilai kemanusiaan. Sedangkan di Thailand dengan bentuk pemerintahan monarki dan dijalankan dengan kekuatan politik militer, namun legalisai ganja diregulasi berdasarkan budaya tradisional yang memiliki nilai kemanusiaan berdasarkan teologi Buddhisme. Berbeda di Indonesia, kendati ganja merupakan budaya pengobatan tradisional masyarakat nusantara; seperti di Aceh dan Maluku, namun tanaman sejuta manfaat itu diukur manfaatnya dari nilai nominal daripada nilai kemanusiaan.
Legalisasi ganja merupakan bagian dari hak asasi manusia, dan untuk menyuarakannya memerlukan ruang demokrasi yang sehat. Namun saat ini ruang tersebut dihambat dengan jeratan hukum. Selama keadaan ini berlangsung, satu-satunya cara untuk menyuarakan legalisasi ganja di Indonesia adalah dengan berbagi pengetahuan berdasarkan sains dan filosofi sebagai ibu dari segala ilmu pengetahuan (mother of all sciences); daripada menggunakan kekuatan massa lewat organisasi yang akhirnya berhenti pada kepentingan nominal daripada nilai sosial.
Buktinya legalisasi ganja di Indonesia saat ini berjalan stagnan, dan gerakan organisasi yang sudah memasuki belasan dekade; Lingkar Ganja Nusantara (LGN), hanya sekadar jualan buku. Tak bisa dipungkiri, hal ini bisa terjadi hingga menghambat gerakan legalisasi akibat dari proses politik yang tidak mengindahkan demokrasi yang menjunjung kedaulatan rakyat.
Pemerintah saat ini sibuk saling mengunci kepentingan, sehingga isu seperti legalisasi ganja ataupun isu lain yang berkaitan dengan rakyat banyak ditendang jauh-jauh. Kendati demikian, rezim saat ini akhirnya pun akan berganti, karena kekuasaan publik berbeda dengan kekuasaan pribadi; dimana kekuasaan publik itu hanya sebuah mandat yang diberikan oleh masyarakat banyak.