Baca Ganja – Feminitas ganja adalah nilai dan ekspresi feminin tanaman cannabis yang bersifat menyembuhkan dan memelihara, sebagai nilai etis untuk menemukan pengetahuan baru yang bukan hanya bebas tapi berintegritas.
Di zaman modern ini, ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dianggap banyak mendukung kesejahteraan dan kualitas hidup manusia. Kendati demikian, IPTEK cenderung dimanfaatkan hanya sebagai alat untuk meningkatkan akumulasi kapital atau modal, melalui sarana kebijakan sebagai upaya mengendalikan dan meningkatkan surplus nilai, tanpa menimbang dampaknya terhadap aktivitas alam di dalamnya — kehidupan sosial-ekonomi manusia dan lingkungan disekitarnya.
Bukti IPTEK dimanfaatkan untuk meningkatkan akumulasi kapital adalah dengan melihat sistem kebijakan pemerintahan Indonesia saat ini, di bawah rezim Jokowi, yang mengatasnamakan kesehatan dan untuk menghentikan penyebaran kasus covid di tengah masyarakat, membuat kebijakan yang justru meresahkan kehidupan sosial-ekonomi masyarakat. Sebaliknya di sisi lain, lewat kebijakannya menguntungkan perusahaan farmasi — dan yang terlibat di dalamnya.
Bukti di atas hanyalah salah satu dari banyak masalah yang dihasilkan IPTEK. Dalam isu yang mencakup krisis lingkungan alam, ini bisa dilihat dari bagaimana industri kimia yang mengatasnaman IPTEK, menganggap alam membutuhkan bantuan manusia lewat produk yang dihasilkan dengan bantuan teknologi mekanis, untuk mendorong sekaligus mempercepat suatu produksi yang dihasilkan dari alam.
Penggunaan pupuk kimia dan pestisida untuk mendorong dan mempercepat produksi suatu komoditas, adalah upaya industri kapital dengan bantuan IPTEK untuk meningkatkan akumulasi nilai tanpa menimbang dampak buruk penggunaannya terhadap kesehatan tanah yang secara alamiah memiliki kemampuan ‘aktif’ untuk melakukan regenerasi. Dampak akibat penggunaan kimia adalah hilangnya kemampuan tanah untuk melakukan regenerasi sendiri (self-regenerative).
Ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai bentuk daya dan upaya arogansi kapital raksasa, menghilangkan kemampuan ‘aktif’ yang dimiliki alam dan mengganggapnya sebagai objek yang memiliki sifat ‘pasif’ dan tidak berdaya, sehingga harus dikelola dengan ‘tepat’. Ini menunjukkan bahwa sifat eksploitasi menjadi dasar perkembangan dan kemajuan IPTEK.
Sifat Eksploitasi dalam Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK)
Sifat eksploitasi dalam IPTEK, berangkat dari prinsip mereduksi pengetahuan tentang alam yang luas menjadi bagian pengetahuan yang terfragmentasi atau terbagi-bagi, kemudian mengalienasi (mengisolasi) pengetahuan tersebut. Pengetahuan yang terfragmentasi dan terisolasi kemudian direkayasa dengan menggunakan teknologi mekanis, dan diberikan hak paten sebagai hak milik intelektual.
Eksploitasi dalam IPTEK juga tidak terlepas dari industrialisasi yang dianggap penting untuk mempercepat produksi dan pembangunan agar dapat memenuhi kebutuhan konsumsi, yang sebenarnya semata-mata hanya untuk kepentingan peningkatan akumulasi kapital. Bahkan untuk memperluas kebutuhan industrialisasi, dilakukan dengan tindakan deforestasi atau penggundulan hutan yang digantikan dengan pembudidayaan komoditi secara monokultur yang dianggap penting untuk kebutuhan industri.
Pembudidayaan monokultur adalah sistem pertanian yang hanya menanam satu jenis tanaman yang seragam. Pembudidayaan tanaman yang seragam akan mempercepat proses penyebaran organisme pengganggu tanaman yang menimbulkan hama dan penyakit. Kemudian untuk mengatasi hama dan penyakit tanaman menggunakan bahan kimia yang merusak kandungan unsur hara tanah.
Industrialisasi bukan hanya merusak alam, tetapi juga merampas kehidupan sosial-ekonomi masyarakat sekitar yang lebih dulu hidup berdampingan dengan alam dan merawatnya dengan pengetahuan budaya lokal. Perampasan kehidupan masyarakat sekitar mengakibatkan hilangnya sumber mata pencaharian yang bersumber dari alam, karena sumber kebutuhan yang disediakan alam telah lenyap dan digantikan dengan komoditas tanaman untuk keperluan industri.
Tenaga masyarakat yang kehilangan mata pencaharian kemudian dimanfaatkan sebagai ‘bahan mentah’ (raw material) untuk menghasilkan produk komoditi industri dan mengubah kegiatan sosial-ekonomi mereka. Ini merupakan bentuk kompleks dari eksploitasi yang berakar dari sistem pengetahuan dan teknologi melalui sifat reduksi; yang menilai organisme hidup — usaha manusia dan alam — sebagai sesuatu yang ‘pasif’.
Reduksi dalam IPTEK merubah ekosistem alam yang kompleks — masyarakat dan lingkungan — menjadi satu komponen, dan satu komponen menjadi satu fungsi. Mereduksi hutan menjadi kayu komersil, kemudian mereduksinya menjadi serat selulosa untuk industri. Ekosistem alam yang kompleks kemudian dimanipulasi untuk meningkatkan produksi industri.
Potensi Eksploitasi Ganja dalam Perusahaan Farmasi
Perspektif ilmu pengetahuan dan teknologi yang mereduksi manusia dan alam dalam suatu ekosistem menjadi hanya satu fungsi, sama arogannya dengan perusahaan kapital yang didukung oleh kebijakan pemerintah mengeksploitasi masyarakat hanya sebagai target pasar konsumen. Artinya perusahaan kapital dapat memanfaatkan IPTEK untuk membenarkan eksploitasi sebagai upaya meningkatkan akumulasi.
Ilmu pengetahuan memiliki sifat bebas dari sistem suatu nilai (dogma) agar dapat tiba pada kesimpulan objektif tentang kehidupan dan semesta, dan sifat ini dimanfaatkan oleh korporasi kapital. Kemudian dengan bantuan teknologi dan industri, dengan pandangannya yang mengganggap organisme hidup — alam dan manusia — adalah ‘pasif’, mereka mengolah — bahkan mengendalikan — ‘bahan mentah’ yang ‘pasif’ untuk menghasilkan suatu bahan produksi.
Dalam hal regulasi pemanfaatan ganja di Indonesia, korporasi kapital dapat mengendalikan pasar melalui kerjasama perusahaan farmasi dan pemerintahan, lewat kebijakan yang disetujui tanpa melibatkan suara masyarakat yang dianggap ‘pasif’ dan hanya sebagai target pasar. Kemudian mengolah ganja sebagai ‘bahan mentah’ untuk diproduksi sebagaimana dibenarkan oleh legitimasi kebijakan yang telah disetujui antara farmasi dan pemerintah.
Penerapan sistem pembudidayaan tanaman ganja untuk kebutuhan korporasi farmasi juga menerapkan sistem budidaya monokultur, yang hanya menanam satu jenis tanaman seragam. Ini dilakukan agar mempermudah dan mempermurah pengontrolan tanaman agar tersentralisasi; dengan kata lain ini adalah bentuk upaya mereduksi keberagaman menjadi satu komponen, kemudian menjadi satu fungsi.
Meskipun produk komoditi ganja yang dihasilkan oleh industri dinilai memiliki kadar senyawa cannabinoid yang tinggi untuk diolah sebagai pengobatan penyakit kronis dan kanker, namun belum tentu ganja yang di budidaya oleh industri secara monokultur bebas dari racun kimia yang berasal dari pupuk atau pestisida, dan turut merawat kemampuan regenerasi ‘aktif’ tanah.
Kemudian dengan kebijakan regulasi pemanfaatan ganja, masyarakat sakit yang membutuhkan pengobatan ganja, hanya dianggap pasien yang tidak lebih adalah konsumen. Ini adalah bukti konkret arogansi korporasi kapital dibalik perusahaan farmasi yang mengatasnamakan pengetahuan (yang bebas) dan kemajuan teknologi, justru melakukan kolonialisasi terhadap masyarakat.
Feminitas Ganja sebagai Nilai Etis dalam Pengetahuan
Meskipun IPTEK dianggap banyak mendukung kemajuan peradaban manusia, namun yang terjadi adalah meluasnya spektrum ketidakadilan yang berangkat dari arogansi dan eksploitasi, yang bersifat mereduksi; memaksa keseragaman dan meniadakan keberagaman, serta menganggap sesuatu yang memiliki kemampuan regenerasi sebagai sumber daya untuk dimiliki.
Arogansi dalam IPTEK yang telah membentuk peradaban manusia, akhirnya berubah menjadi bentuk invasi, dan berangkat dari invasi ini menghasilkan banyak bentuk pelanggaran yang akan selalu dikenang dalam sejarah besar dunia. Melihat sifat dominasi ini, saatnya untuk menyadari pentingnya menempatkan sifat feminin yang menyembuhkan dan merawat dalam ilmu pengetahuan yang berintegritas.
Dengan memahami tanaman cannabis sebagai pengobatan, artinya kita memahami bahwa senyawa cannabinoid dengan banyak manfaat medis, dihasilkan oleh sifat feminitas ganja, yang merupakan bagian bunga cannabis. Tetapi dalam pemanfaatan dan pengelolaannya, tidak dapat diterapkan dengan cara mendominasi yang akhirnya serat hemp dimanfaatkan untuk Perang Dunia.
Paradigma pengelolaan serta pemanfaatannya harus berdasarkan nilai dan sikap yang menyembuhkan dan merawat, yang mewakili bentuk dari sifat keibuan, diikuti dengan bentuk proteksi non-dominasi. Nilai ini berangkat dari sifat feminitas ganja, yang menjadi refleksi pengetahuan (wisdom) ganja itu sendiri, yang bersifat menyembuhkan dan merawat.