Baca Ganja – Baru saja seminggu Indonesia memasuki usia 75 tahun kemerdekaan yang diperingati tanggal 17 Agustus 2020 lalu, namun isu diskriminatif marak terjadi. Sehingga wajar jika reaksi mencari keadilan itu timbul secara reflektif.
Tindakan diskriminasi yang diterima golongan masyarakat rentan yaitu dengan cara menjerat mereka dengan pasal yang dinilai pasal karet, yang berindikasi multi tafsir (Haris Azhar, Wartakota 2019).
Bahkan tindakan diskriminatif marak terjadi pada bulan Agustus yang bertepatan dengan bulan kemerdekaan Indonesia yang ke-75, diantara lain:
- Intimidasi yang dilakukan aparat terkait terhadap masyarakat adat Besipae di NTT (baca selengkapnya nanti).
- Penangkapan seorang nelayan Kodingareng yang dilakukan petugas kepolisian setempat karena merobek uang yang diduga sogokan (baca selengkapnya nanti).
- Aksi protes berujung pada penangkapan tiga orang nelayan oleh kepolisian yang berlanjut hingga menenggelamkan kapal milik nelayan (baca selengkapnya disini).
Isu-isu diskriminatif yang dilakukan golongan supremasi bukan hanya terjadi di bulan Agustus yang bertepatan dengan bulan kemerdekaan Indonesia, tapi sudah terjadi pada bulan-bulan sebelumnya yang sengaja tidak dibahas agar terhindar dari sentimen politik yang akhir-akhir ini memanas.
Indonesia Berada dalam Gelombang Despotisme
Kesewenang-wenangan yang dilakukan golongan supremasi yang merupakan kekuasaan tertinggi, yaitu pemerintah, yang terjadi di Indonesia, bisa dikatakan sebagai despotisme.
Despotisme adalah bentuk pemerintahan tunggal ataupun kelompok yang erat dengan kekuasaan absolut, dan menggunakan kekuasaan maupun otoritas untuk menindas masyarakat yang secara hierarki paling rentan.
Walaupun Indonesia dikatakan sebagai negara demokrasi, namun nilai-nilai demokrasi semakin hari semakin memudar. Hal ini bisa dilihat dari sikap pemerintahan saat ini yang kerap membuat argumen berbau sentimen politik.
Tindakan reflektif oleh pemerintah dengan memberikan argumen berbau sentimen politik dapat dinilai sebagai reaksi rasa takut akan terganggunya keadaan politik yang nyatanya saat ini dikendalikan oleh pemerintah.
Apabila pemerintah tidak mengendalikan politik, maka pemerintah berpotensi kehilangan kekuasaan absolutnya. Dan jika pemerintah kehilangan kekuasaan absolutnya, maka kebijakan yang despotis tidak bisa dibuat.
Dalam analisis yang dibuat Karl August Wittfogel berjudul Oriental Despotism, ia mengatakan bahwa despotisme dapat menjadi struktur yang menghancurkan masyarakat sipil yang bergerak melawan kebijakan negara secara unik.
Mencari Nilai Keadilan
Penyebab adanya despotisme tidak terlepas dari hilangnya nilai-nilai dasar keadilan. Bukan hanya dalam kasus yang sudah dijelaskan diawal, tapi juga kasus yang menjerat pengguna ganja untuk medis.
Seorang filsuf ternama, Aristoteles, mengatakan bahwa keadilan bisa disamakan dengan nilai-nilai dasar sosial. Keadilan yang lengkap bukan hanya mencapai kebahagiaan untuk diri sendiri, tapi juga kebahagiaan orang lain.
Pemerintahan yang adil adalah pemerintahan yang menjalankan roda pemerintahan dengan memenuhi kewajibannya yang tertuang dalam konstitusi dengan sebaik-baiknya. Artinya pemerintah adalah pelayan masyarakat, bukan masyarakat yang melayani pemerintah.
Apabila masyarakat yang melayani pemerintah, maka akan terjadi pembusukan yang berimbas pada kehancuran pemerintahan tersebut cepat atau lambat. Untuk menciptakan pemerintahan yang adil, wajar jika banyak menuai protes dari berbagai kalangan yang merasa aspirasinya tak terpenuhi.
Namun rasanya sangat sulit mencari keadilan dalam keadaan gelombang despotisme. Keadilan ini bukan hanya bagi pengguna ganja demi hak kesehatannya, namun untuk semua korban ketidakadilan akibat despotisme yang terjadi.
“Dalam keadaan terbaik, manusia binatang yang paling mulia; (jika) dipisahkan dari hukum dan keadilan, manusia adalah yang terburuk.” – Aristoteles
Referensi: -Karl August Wittfogel, Oriental Despotism -Muchamad Ali Safa’at, Pemikiran Keadilan