Penelitian Cannabinoid Sintetis: Perbedaannya dengan Zat Organik

Baca Ganja – Tentang penelitian dan temuan senyawa ganja (cannabinoid) sintetis dan perbedaannya dengan cannabinoid organik dalam tumbuhan ganja.

penelitian senyawa ganja

Seiring dengan kemajuan sains dan teknologi, penelitian farmasi terhadap komponen senyawa utama ganja–cannabinoid–mengalami perkembangan pesat. Mulai dari membantu dalam pengidentifikasian awal kelompok senyawa cannabinoid (seperti THC, CBD, CBG, dan sejenisnya), lalu meneliti efek medisnya, hingga akhirnya menciptakan cannabinoid sintetis dari rekayasa senyawa kimiawi.

Berikut ini adalah catatan tentang penelitian cannabinoid sintesis dan perbedaannya dengan cannabinoid organik.

Penelitian Senyawa Ganja (Cannabinoid) Sintetis

Senyawa utama ganja (yang disebut sebagai kelompok senyawa cannabinoid) sintetis adalah suatu molekul zat yang mirip dengan cannabinoid alami, karena memiliki kesamaan dengan cara kerjanya untuk menghasilkan efek bagi tubuh, yaitu sama-sama mengikat reseptor cannabinoid (CB1 dan CB2)–yang merupakan bagian sistem biologis kompleks disebut sistem endocannabinoid.

Meskipun memiliki kemiripan cara kerja untuk menghasilkan efek pada tubuh, tetapi ada perbedaan mendasar antara kedua cannabinoid tersebut. Cannabinoid sintetis dihasilkan melalui rekayasa atau modifikasi senyawa kimia oleh manusia (baik peneliti atau badan institusi), sedangkan cannabinoid alami (organik) dihasilkan secara alamiah dalam tumbuhan ganja.

Cannabinoid sintetis berguna dalam uji coba penelitian untuk mengindikasi hubungan antara struktur kimia dan aktivitas senyawa cannabinoid, dengan memodifikasi molekul cannabinoid secara sistematis dan bertahap. Tujuan lain dari penelitian atau penciptaan senyawa cannabinoid sintetis adalah untuk pengobatan yang dikembangkan oleh industri farmasi.

Beberapa produk cannabinoid sintetis yang mendapatkan hak paten dalam industri farmasi seperti Marinol, Cesamet, dan Sativex sudah pernah dijelaskan dengan ringkas dalam artikel berjudul “Produk Farmasi dan Olahan Ganja”. Namun ada juga jenis cannabinoid sintetis lainnya yang digunakan sebagai alternatif ganja untuk rekreasi. Beberapa diantaranya adalah:

Cannabinoid Sintetik sebagai Alternatif  “Ganja Sintetis”

penelitian ganja sintetis
Foto: ganja sintetis atau K2 yang ditemukan di pasar AS dan Eropa pada tahun 2008.

Pada tahun 2008, Pusat Pemantauan Obat Eropa (EMCDDA) mendeteksi produk dupa herbal alami (sering dikenal sebagai K2 atau Spice) dengan kandungan senyawa cannabinoid sintetik psikoaktif yang belum diregulasi saat itu. Namun penggunaanya tidak digunakan sebagai dupa, melainkan sebagai alternatif pengganti ganja–disebut “ganja sintesis” (synthetic marijuana).

Beberapa senyawa cannabinoid sintetik yang terkandung dalam produk K2 adalah JWH-018, JWH-073, dan CP-47,497. Penamaan jenis-jenis senyawa cannabinoid sintetik tersebut berasal dari nama peneliti atau nama institusi / korporasi yang menciptakannya. Misalnya, senyawa JWH-018 dan JWH-073 berasal dari nama penemunya, John W. Huffman; atau CP-47,497 yang berasal dari perusahaan farmasi dan bioteknologi, Charles Pfizer.

 

penelitian senyawa ganja sintetis
Foto: Molekul senyawa psikoaktif ganja THC (pojok kiri atas) digambarkan bersama lima jenis molekul senyawa cannabinoid sintetik yang terdapat dalam produk K2.

Jenis cannabinoid sintetik yang terkandung dalam produk K2 merupakan cannabinoid sintetik yang dibuat pada tahun 1980-an. Pada awalnya digunakan untuk tujuan farmasi, namun setelah dua puluh tahun kemunculannya, cannabinoid sintetik tersebut digunakan sebagai alternatif ganja rekreasional.

Penelitian yang dilaporkan dalam jurnal National Institute of Health (NIH), Badan Kesehatan dan Layanan Masyarakat Amerika Serikat pada tahun 2013, menemukan; cannabinoid sintetik JWH-018 dan JWH-073 yang terkandung dalam produk K2 memiliki potensi dan tingkat kemanjuran yang lebih tinggi daripada cannabinoid organik dalam ganja, tetrahydrocannabinol (THC). Ini disebabkan karena senyawa cannabinoid sintetik dirancang dengan penargetan–afinitas (daya ikat)–yang kuat terhadap reseptor cannabinoid CB1 dan CB2.

Meskipun diteliti memiliki afinitasi yang tinggi terhadap reseptor cannabinoid, namun hampir tidak ada penelitian yang mengevaluasi keamanan atau kemanjuran pengobatan dari cannabinoid sintetik yang ditemukan dalam produk K2. Beberapa perokok K2 banyak mengalami paranoia ekstrem, halusinasi, agitasi, kecemasan, kejang, peningkatan tekanan darah, dan bahkan kematian (seperti yang dilaporkan oleh The Guardian tahun 2018 tentang kasus overdosis yang banyak terjadi di Amerika Serikat).

Ganja Sintetis di Indonesia

ganja sintetis tembakau gorila
Foto: Tembakau Gorila yang beredar di Indonesia tahun 2017. (sumber: beritasatu.com)

Berbicara tentang ganja sintetis, peredarannya juga terjadi di Indonesia dengan sebutan ‘tembakau gorila’ pada tahun 2017–yang kemudian dikontrol dalam Undang-undang Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Penggolongan Narkotika; sebagai jenis narkotika golongan I.

Tembakau Gorila yang beredar di Indonesia pada tahun 2017 adalah produk tembakau dengan kandungan senyawa cannabinoid sintetik jenis AB-CHMINACA yang memiliki potensi efek lebih kuat daripada senyawa cannabinoid THC yang ditemukan dalam ganja–sehingga menghasilkan efek seperti ‘tertiban gorila’.

Sama seperti ganja sintetis yang beredar di pasaran Eropa dan Amerika (cannabinoid sintetik dalam produk K2 atau Spice), belum ada penelitian hingga saat ini yang mengevalusasi keamanan dan kemanjuran pengobatan cannabinoid sintetik AB-CHMINACA terhadap manusia. (Satu-satunya penelitian cannabinoid sintetik AB-CHMINACA yang dapat ditemukan penulis dalam jurnal ilmiah adalah uji coba senyawa tersebut terhadap tikus).

Namun akibat dari kurangnya pengetahuan masyarakat tentang ganja dan senyawa cannabinoid, banyak yang menggunakan Tembakau Gorila (atau sejenisnya yang disebut ‘ganja sintetis’) sebagai alternatif ganja alami (bahkan beberapa ada yang menganggapnya sama). Padahal penelitian menemukan perbedaan efek samping cannabinoid sintetik yang lebih berbahaya daripada cannabinoid alami, THC.

Tetrahydrocannabinol acetate (THC-O-acetate)

Foto: Contoh produk cartridge vape tetrahydrocannabinol acetate (THC-O).

Selain cannabinoid sintetik, ada juga jenis senyawa cannabinoid semi-sintetik yang beredar di pasar Amerika pada tahun 2019-2020 dalam produk vape; yaitu tetrahydrocannabinol (THC) acetate atau THC-O-acetate. Peredaran produknya dikaitkan dengan wabah penyakit paru-paru EVALI (E-cigarette or Vaping used-Associated Lung Injury). Ada ribuan kasus dan lebih dari 60 kematian terkait EVALI di Amerika pada tahun yang sama. (Berdasarkan hasil laporan studi yang dikutip dari jurnal NORML pada tahun 2023).

Dikutip dari jurnal ilmiah tahun 1984 oleh Badan Riset Nasional Amerika, senyawa THC-O (THC acetate) pertama kali diciptakan pada tahun 1940 dengan cara memodifikasi struktur molekul kimia dari senyawa cannabinoid alami ganja, tetrahydrocannabinol (THC). Selain itu, THC asetat juga pernah digunakan dalam penelitian rahasia Amerika di tahun 1945 sebagai ‘serum untuk mengungkap kebenaran’ yang diuji coba terhadap Tahanan Perang pada masa itu.

Beberapa pendapat yang ditemukan di pasaran–baik dari penjual atau pengguna–mengatakan THC-O memiliki efek psikedelik yang mirip dengan psychedelic drugs, seperti LSD atau magic mushroom. Namun dari laporan hasil riset tahun 2023 menunjukkan 79% pengguna THC-O mengatakan “sama sekali tidak” atau “sedikit” merasakan efek psikedelik.

Hexahydrocannabinol (HHC)

vape ganja hhc
Foto: Ilustrasi foto produk vape cannabinoid sintetis, Hexahydrocannabinol (HHC).

Sama seperti THC-O, jenis cannabinoid semi-sintetis yang berlabel produk rokok eletrik ini mulai banyak beredar di pasar Amerika sekitar tahun 2020-an. Walaupun senyawa hexahydrocannabinol (HHC) merupakan jenis cannabinoid baru bagi pasar konsumen, tetapi ia bukanlah jenis cannabinoid baru. HHC di identifikasi pertama kali pada tahun 1940, dan dihasilkan dari cannabinoid alami (THC dan CBD) yang di sintesis lewat proses kimia yang disebut hidrogenasi.

Meskipun struktur molekul kimianya mirip dengan cannabinoid alami tetrahydrocannabinol (THC), tetapi hasil studi penelitian tahun 2023 menunjukkan efek farmakologi yang kurang kuat dibandingkan dengan THC dalam uji coba pada berbagai spesies hewan (misalnya monyet, anjing, gerbil, dan mencit). Hingga saat ini belum ada tinjauan penelitian ilmiah terkait efek HHC terhadap manusia.

Perbedaan Efek Cannabinoid Sintetis dan Organik

Jika melihat hasil riset yang telah dilakukan hingga saat ini terkait cannabinoid sintetis, dapat ditemukan bahwa hampir semua jenis cannabinoid sintetis yang diciptakan meniru sifat biokimiawi dari cannabinoid alami (organik) dalam ganja, yaitu tetrahydrocannabinol (THC) yang memiliki tingkat afinitas paling tinggi (di antara jenis cannabinoid organik lainnya) terhadap reseptor cannabinoid (CB1 dan CB2).

Baca juga: Cannabinoid alami, THCP, yang lebih kuat daripada THC

Bahkan sebagian besar jenis cannabinoid sintetis yang diciptakan (termasuk juga yang diberi hak paten dalam industri farmasi seperti Marinol dan Cesamet) memiliki afinitas atau daya ikat yang lebih kuat daripada THC. Semakin kuat daya ikat cannabinoid terhadap reseptor cannabinoid, maka efek yang dihasilkan juga semakin kuat. Begitu juga dengan perbedaan efek psikoaktif–yang memengaruhi perubahan psikologi dan fisiologi–antara cannabinoid sintetis dan organik.

Hasil studi penelitian yang membandingkan efek samping antara cannabinoid sintetis dan organik menunjukkan; (1) menggunakan cannabinoid sintetis lebih banyak dikaitkan dengan efek yang tidak diinginkan termasuk; agitasi, lekas marah, kebingungan, halusinasi, delusi, psikosis, dan kematian; (2) menggunakan cannabinoid sintetis secara rutin dikaitkan dengan resiko yang lebih besar mengembangkan gangguan kesehatan mental yang serius dibandingkan menggunakan ganja.

Alasan lain yang telah diteliti menjadi faktor penggunaan ganja organik memiliki efek samping yang tidak berbahaya adalah karena ganja merupakan tumbuhan yang mengandung bermacam jenis metabolit lain seperti terpene, yang memiliki manfaat medis dan juga dapat mengurangi efek samping akibat konsumsi senyawa THC yang berlebihan.

Penelitian Efek Rombongan (Entourage Effect) pada Ganja Organik

efek rombongan ganja
Efek rombongan diyakini ampuh untuk mengobati gangguan mood dan kecemasan.

Kandungan terpene banyak ditemukan pada bagian bunga ganja (termasuk pada beberapa jenis tumbuhan lainnya) yang membentuk getah (atau minyak) dengan aromanya masing-masing yang khas. Fungsi alamiahnya adalah untuk melindungi tumbuhan dari serangga atau predator, dan suhu temperatur yang terlalu tinggi. Sedangkan manusia memanfaatkannya sebagai bahan dasar minyak aromatik yang digunakan untuk memasak, bahan pengobatan terapeutik, ataupun dalam tradisi upacara ritual keagamaan.

Bunga ganja mengandung berbagai jenis senyawa terpene yang juga diproduksi oleh tumbuhan lainnya, seperti: myrcene yang dapat ditemukan pada serai dan mangga; pinene yang dapat ditemukan pada pinus; limonene yang dapat ditemukan dalam kelompok tanaman citrus seperti jeruk dan lemon; serta linalool yang dapat ditemukan dalam kelompok tanaman mint dan kayu manis. Aroma khas yang dikeluarkan bunga ganja berasal dari kandungan terpene tersebut.

Hasil penelitian pada tahun 2020 menunjukkan bahwa menggunakan ganja organik yang mengandung terpene dan cannabinoid, berpotensi untuk mengobati gangguan mood dan rasa cemas. Efek dasar senyawa terpene yang memiliki sifat ansiolitik (anti-cemas) diteliti dapat bersinergi dengan cannabinoid untuk menghasilkan efek yang lebih luas, yang dapat meningkatkan efektivitas sekaligus mengurangi efek samping cannabinoid THC. Efek ini disebut sebagai ‘efek rombongan’ (entourage effect).

Hasil riset tahun 2024 dari tim peneliti Johns Hopkins Medicine juga menemukan kandungan terpene dalam ganja dapat mengurangi efek psikoaktif THC yang memicu timbulnya rasa cemas. Metode penelitian menggunakan senyawa terpene d-limonene, dan juga cannabinoid THC yang sama-sama diuapkan. Studi tersebut dilakukan terhadap 20 orang dewasa sehat dengan usia rata-rata 26 tahun, dimana mereka akan berpartisipasi dalam sesi uji coba untuk menghirup d-limonene yang diuapkan saja; THC yang diuapkan saja; THC dan d-limonene yang diuapkan secara bersamaan; dan air sulingan biasa yang diuapkan sebagai plasebo.

Konklusi Penelitian

Studi penelitian menunjukkan, menggabungkan penggunaan d-limonene dengan THC secara signifikan mengurangi indikator/laporan subjektif dari kecemasan yang disebabkan oleh THC pada peserta. Pengurangan ini lebih besar seiring dengan peningkatan dosis d-limonene. Selain itu, hasil riset tidak menunjukkan adanya gangguan terhadap efek subjektif, kognitif atau fisiologis dari THC ketika diberikan bersamaan dengan d-limonene, serta tidak ada efek yang berbeda antara penggunaan d-limonene saja dengan tes plasebo yang menggunakan air suling biasa.

Menurut tim peneliti, riset ini merupakan langkah pertama dalam mengungkap bagaimana kita dapat memitigasi risiko THC ketika digunakan dalam pengobatan, dan juga ditargetkan untuk membuat ganja lebih aman bagi konsumen umum yang tidak melakukan terapi. Sekaligus riset ini mengungkapkan bahwa menggunakan ganja organik yang mengandung cannabinoid dan terpene alami lebih baik dan aman daripada menggunakan ganja sintetis atau yang mengandung cannabinoid sintetik.


Referensi:
-The K2/Spice Phenomenon: emergence, identification, legislation and metabolic characterization of synthetic cannabinoids in herbal incense products
-State marijuana policies and vaping associated lung injuries in the US
-Saturated Cannabinoids: Update on Synthesis Strategies and Biological Studies of These Emerging Cannabinoid Analogs
-Natural and Synthetic Cannabinoids: Pharmacology, Uses, Adverse Drug Events, and Drug Interactions
-Researchers Show Chemical Found Naturally in Cannabis May Reduce Anxiety-Inducing Effects of THC

Tinggalkan komentar

Sharing is caring