Orang-orang di Persimpangan Jalan yang Tengah Mencari Keadilan

Baca Ganja – “Orang – orang di Persimpangan Jalan yang Tengah Mencari Keadilan”, sebuah catatan memperingati hari buruh dan tragedi Mei 1998 di Indonesia.

orang-orang di persimpangan jalan
Foto: Aksi demo di Hari Buruh (kiri); aktivis buruh perempuan, Marsinah (kiri tengah); aktivis HAM Kerusuhan Mei 1998, Ita Martadinata (kanan tengah); peristiwa kerusuhan Mei 1998 (kanan).

Pengantar

Bulan Mei bagi Republik Indonesia (RI) merupakan bulan yang dipenuhi sejarah tragedi kemanusiaan. Setidaknya ada dua peristiwa di bulan Mei dalam sejarah RI yang sangat membekas; yaitu kematian aktivis buruh wanita, Marsinah (Mei 1993), dan kerusuhan Mei 1998 di kota-kota besar yang berujung pada kekerasan–pembunuhan, penjarahan, dan permerkosaan–terhadap minoritas keturunan suku Tionghoa-Indonesia.

Sampai saat ini, kedua peristiwa tragedi kemanusiaan tersebut belum menemukan titik terang atas jawaban siapa dalang, atau darimana munculnya ide untuk menjalankan aksi kekerasan tersebut. Namun, bukan menjadi rahasia umum lagi bahwa dugaan kuat publik yang menjadi dalangnya adalah pemerintah yang saat itu berkuasa, rezim Orde Baru (disingkat Orba), karena cenderung bertindak dan menerapkan pendekatan militeristik terhadap masyarakat sipil yang menunjukkan wajah fasisme.

Misalnya dalam peristiwa kematian Marsinah pada bulan Mei 1993 secara misterius yang diduga ada intervensi dari pihak intelijen. Banyak masyarakat saat itu yang mengganggap aktivis buruh wanita tersebut meninggal secara tak wajar, sebab banyak bekas luka dan kekerasan fisik yang ditemukan pada jasadnya. Apalagi beberapa hari sebelum Marsinah dikabarkan tewas, diketahui ia masih aktif bersama rekannya melakukan unjuk rasa untuk mendorong proses perundingan agar 12 tuntutan buruh tempat ia bekerja terpenuhi.

Dan pada tragedi Mei 1998, rezim Orba kian menunjukkan wajah fasis-nya secara terang-terangan dengan menembakkan peluru timah panas yang menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti dan menyebabkan puluhan demonstran lain terluka. Tragedi berdarah di Universitas Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998 ini memicu kerusuhan dan gelombang revolusi nasional yang lebih besar, dan pada akhirnya berujung pada pengunduran diri Presiden Soeharto yang juga menandakan berakhirnya pemerintahan rezim Orba.

Keresahan yang mengendap di tengah masyarakat berujung menjadi letupan peristiwa Mei 1998, bukan hanya meluapkan semangat perubahan melengserkan pemerintahan fasis. Tapi juga rasa frustrasi akibat harga kebutuhan pokok dan BBM yang melonjak pesat. Tindakan-tindakan revolusi yang didasari oleh emosi akhirnya mengorbankan darah orang-orang yang tidak berdosa.

Orang – orang di Persimpangan Jalan

orang orang di persimpangan kiri jalan

Jika kita lihat kembali sejarah perjalanan Republik Indonesia, banyak ditemukan gejolak sosial yang mengatasnamakan kemerdekaan manusia tapi tindakannya justru berlawanan dengan nilai kemanusiaan. Bahkan fenomena ini dapat ditemukan sejak awal berdirinya Republik Indonesia yang dimanfaatkan oleh orang atau kelompok yang memiliki kepentingan politik dengan cara memanipulasi emosi bangsa Indonesia, dan menumbuhkan rasa benci kepada suku/agama lain. Sehingga cita-cita revolusi menuju bangsa yang menjunjung nilai kesetaraan dan kemanusiaan–sesuai dengan isi Pancasila–tidak pernah terwujud.

Dalam bukunya berjudul ‘Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan’ yang menceritakan pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun tahun 1948, Soe Hok Gie, seorang aktivis keturunan Tionghoa-Indonesia berpendapat.. “bahwa politik di Indonesia tidak rasional, tetapi emosional (menurut sistem nilai-nilai politik di negara Barat). Partai-partai di Indonesia, dari Masjumi (yang kanan) sampai PKI (yang kiri), pada dasarnya anti-imperialis dan antikapitalis. Akan tetapi, persatuan dan pengelompokannya berdasarkan loyalitas pribadi, pro-kontra, serta sahabat dan keluarga.”

Dari kutipan paragraf ini, dapat kita bayangkan bahwa sejak dulu politik Republik Indonesia tidak didahului perhitungan-perhitungan rasional, melainkan emosional. Menyebabkan esensi dari nilai keadilan dan kerakyatan tidak dapat terwujud karena adanya dendam politik berdasarkan sentimen. Bahkan Soe Hok Gie meyakini, hal ini juga yang mendasari perpecahan dan melanda pemerintahan “Sayap Kiri” hingga akhirnya komunisme menghancurkan rencana-rencana mereka sendiri.

Seperti yang ditulis Gie dalam bukunya saat ia menceritakan.. “pimpinan ‘Sayap Kiri’ merasakan kekecewaan melihat arah politik yang tidak sesuai dengan teori-teori diatas kertas dan meja diskusi dengan pihak Belanda. Mereka merasa ditipu mentah-mentah. Reaksi mereka merupakan reaksi seorang amatir yang ngambek dan kacau balau”. Gie juga melanjutkan bahwasannya saat politik menjadi lebih condong ke pemerintahan ‘Sayap Kanan’, “ternyata tidak lebih revolusioner daripada kaum (komunis) yang mereka cerca di muka umum”. Slogan mereka yang revolusioner dengan menolak perundingan Linggarjati (yang menuduh Sutan Sjahrir bekerjasama dengan pihak Belanda) dan menuntut kedaulatan negara seratus persen, akhirnya berubah menjadi “nasi sudah menjadi bubur”, dan “take the best of it“. Sehingga terlihat jelas bagaimana tokoh politik mempermainkan emosi banyak orang.

Mencari Keadilan

Dari buku “Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan”, penulis sadar bahwa bangsa Indonesia sudah terhanyut dalam politik emosional yang mengakibatkan banyak terjadi peristiwa revolusi sosial berdarah. Mulai dari tragedi berdarah Revolusi Sosial Sumatra Timur pada tahun 1946, Pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948, Pemberontakan PRRI / Semesta tahun 1958, Gerakan 30 September atau yang lebih dikenal sebagai G30S/PKI pada tahun 1966, dan peristiwa pada bulan Mei tahun 1998; yang membawa perubahan politik dengan melengserkan rezim Orba sekaligus menimbulkan kekerasan sosial di tengah masyarakat.

Penderitaan rakyat yang tak berdosa akibat gejolak revolusi sosial yang berdasarkan emosi belaka, akhirnya menjadi endapan perasaan yang kemungkinan besar akan menjadi sebuah perasaan benci ataupun ketakutan yang menyelimuti bangsa dan menjangkiti politik Republik Indonesia. Roda politik semacam inilah yang akan terus berputar di republik, bahkan dipelihara oleh rezim fasis untuk mengadu domba masyarakat sehingga perjuangan tentang nilai keadilan sosial dan kemanusiaan sebenarnya menjadi kabur.

Buktinya, kendati rezim Orba yang fasis telah beralih ke era Reformasi (ditandai dengan peristiwa Mei 1998), namun kebijakan yang diterapkan rezim pemerintah Jokowi saat ini masih berbentuk penindasan terhadap masyarakat. Seperti dalam kebijakan UU Omnibus Law yang disahkan DPR tahun 2020, dimana kebijakannya tidak berpihak pada kesejahteraan sosial masyarakat dan cenderung menguntungkan korporat kapitalis. Misalnya kebijakan yang merugikan buruh karena upah yang semakin rendah, dan beban kerja bertambah dengan penambahan jam lembur.

Selain buruh, yang dirugikan dari berlakunya Omnibus Law adalah masyarakat desa yang berprofesi sebagai nelayan dan petani. Karena korporasi dapat dengan mudah merusak lingkungan demi keuntungan tanpa memperhatikan lingkungan yang berdampak pada mata pencaharian dan kesehatan masyarakat lokal setempat. Kebijakan ini lebih mirip seperti kebijakan yang dibuat oleh korporat daripada sebuah negara yang fungsinya mendistribusikan keadilan. Kebijakan yang memeras rakyat ini tentu akan menimbulkan rasa frustrasi di kemudian hari.

Banyak rakyat Indonesia yang bimbang dan bingung di persimpangan jalan republik, mencari nilai keadilan menurut penderitaan-penderitaan yang dialami atau dipikirkan diri mereka masing-masing. Di simpang jalan republik inilah, imajinasi tentang harapan (republic of hope) dan kegelisahan (republic of fear) bercampur-aduk.

Ditambah lagi situasi global yang sedang dalam ancaman perang dunia, tentu hal ini mempengaruhi keadaan bangsa Republik Indonesia. Apalagi mengingat mudahnya mempermainkan emosi bangsa Indonesia, hal ini akan dimanfaatkan oleh kelompok yang memiliki kepentingan untuk mengadu-domba. Sehingga nilai-nilai keadilan sosial yang diperjuangkan di hari buruh sedunia (juga dalam isi Pancasila) menjadi kabur dan tak pernah terwujud.

Di sisi lain, banyak terjadi peristiwa kekerasan di dunia. Mulai dari negara Israel yang tak kunjung berhenti menghancurkan wilayah Palestina, bahkan di dalam Republik Indonesia kekerasan juga terjadi di wilayah Papua saat ini. Tindakan pemerintah yang menuding masyarakat sipil Papua sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB), tidak berbeda jauh seperti sikap Israel memperlakukan Palestina dengan bengis. Padahal, selama pemerintahan Presiden Gus Dur (Abdurrahman Wahid), konflik di Papua dapat diselesaikan lewat perundingan.

“Saya mimpi tentang sebuah dunia dimana ulama, buruh, dan pemuda bangkit dan berkata, ‘stop semua kemunafikan! Stop semua pembunuhan atas nama apapun.’  Tak ada lagi rasa benci pada siapapun, agama apapun, ras apapun, dan bangsa apapun. Dan melupakan perang dan kebencian, dan hanya sibuk dengan pembangunan dunia yang lebih baik.” – Soe Hok Gie


Referensi:
- Soe Hok Gie, 'Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan'
- 'Sejarah Peristiwa Mei 1998, Penyebab dan Dampaknya', Fakultas Hukum UMSU
- 'Dampak Buruk Disahkannya UU Cipta Kerja, Masyarakat Desa dan Buruh Kian Terimpit', KOMPAS
- 'Konstruksi Melayu Saat Revolusi Sosial Sumatera Timur di Kesultanan Langkat dalam Surat Kabar', Repositori USU
- 'Pemberontakan PRRI Permesta: Tokoh, Latar Belakang, dan Penumpasan', KOMPAS
- 'Israel Kembali Serang Rafah Kamis Dini Hari, 12 Warga Palestina Tewas', TEMPO (31/5/24) 
- 'Komnas HAM Papua Sebut Pelayanan RSUD Paniai Belum Kondusif karena Kehadiran TNI-Polri', TEMPO (26/5/24)

Tinggalkan komentar

Sharing is caring