Baca Ganja – Jika berbicara sejarah, menurut tim peneliti dari University of Vermont, AS, yang sudah mempublikasikan temuannya di jurnal Vegetation History and Archaeobotany pada 14 Mei 2019, mereka mengumpulkan 155 riset mengenai fosil serbuk sari dan menggunakan tanaman lain sebagai proksi untuk menentukan dari genus mana serbuk sari berasal.
Dari data-data tersebut menjelaskan bahwa asal-muasal ganja mengarah pada bagian timur laut dataran tinggi Tibet yang mereka simpulkan sebagai lokasi asal Cannabis. Lebih tepatnya, di dekat Danau Qinghai.
Pada tahun 2019, HEMPI sudah mulai menjalankan riset budaya di Bali tentang ilmu pengobatan dalam agama Hindu dengan identitas sebagai LGN Bali. Hasil riset kami membawa kami ke Museum Gedong Kirtya Singaraja, dimana naskah lontar kuno tentang pengobatan disimpan.
Bukti Ganja sebagai Budaya Bangsa Indonesia yang tercatat dalam Lontar Bali
Seni cara menulis lontar.
Penjelasan tentang Lontar Hanacaraka yang membedah tentang ilmu pengobatan yang ada di Bali masih memiliki pengaruh besar dari Hindu Tibetan, dimana tanaman ganja itu berasal jika berdasarkan sejarah. Di Lontar tersebut juga di jelaskan bahwa ilmu pengobatan tersebut menggunakan bunga jepun, yang di maksud pengertian nya disini adalah tanaman ganja.
Bahkan dalam kitab Ayurveda yang dianggap sebagai ilmu pengobatan holistik tertua di bumi, mencatat bahwa ganja dapat menstimulasi sistem pencernaan, bertindak sebagai analgesik, stimulan sistem saraf, dan potensial dapat bertindak sebagai spasmolitik (relaksan otot polos), diuretik (membuang kelebihan kadar garam dan air dalam tubuh lewat urine), dan afrodisiak (pembangkit gairah seksual).
Tanaman ganja menurut pembagian energi dasar Ayurveda (virya), bersifat menghangatkan, dan penggunaan jangka panjangnya dapat mengeringkan tubuh. Dengan penggunaan skala sedang, sifat awal ganja yaitu bertindak sebagai stimulan sistem saraf dan afrosidiak yang kuat, yang kemudian diikuti efek sedatif.
Sedangkan kebiasaan penggunaan jangka panjang, menyebabkan ketidakseimbangan tiga fisiologis dasar dalam tubuh (seperti yang ditulis dalam Ayurveda) — vata, pitta, dan kapha — dan dampak dari akibat ketidakseimbangan fisiologis dasar adalah buruknya sistem pencernaan, melankolis, impotensi seksual, raga yang disia-siakan.
Apa yang tertulis di Ayurveda, terbukti dalam pengetahuan ilmiah, bahwa penggunaan sehari-hari yang cenderung menjadi penyalahgunaan, dapat mendorong terjadinya gangguan jiwa (psikosis). Frekuensi yang tinggi dalam mengonsumsi ganja secara rekreasional juga terbukti berpotensi mengakibatkan depresi dan kecemasan yang berlebihan – yang diakibatkan karena overstimulasi senyawa THC dalam sistem saraf.
Indonesia sejak dulu telah memiliki ilmu pengetahuan yang di tulis dalam penggunaan tanaman ganja, tapi karena pemerintah yang menutupi semua ilmu tentang ini, maka masyarakat menganggapnya tabu untuk dibicarakan.
Baca juga:
– Ganja dalam Lontar Usada, pengobatan tradisional Bali
– Kitab Atharva-Veda, bukti ganja sebagai tanaman sakral dalam Hindu
– Penggunaan ganja dalam kebudayaan Maluku dalam buku Herbarium Amboinese
Jika membahas ganja sebagai budaya bangsa Indonesia, maka ini menjadi hal yang menyedihkan untuk kaum muda generasi sekarang, yang mana bagian sejarahnya berbeda dengan realitanya sekarang. Indonesia sudah tidak dekat lagi dengan budaya leluhurnya. Indonesia bahkan mengeluarkan undang-undang tentang larangan proses produksi, distribusi hingga tahap konsumsi dari tanaman ganja.
Ganja dalam Hukum yang berlaku saat ini (UU Narkotika No.35 Tahun 2009)
Berdasarkan lampiran 1 butir ke-8 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang narkotika, tanaman ganja termasuk dalam narkotika golongan 1. Dijelaskan dalam Pasal 7 UU 35/2009, narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan Kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dalam penjelasan Pasal 7 UU 35/2009, diterangkan bahwa yang dimaksud dengan “pelayanan kesehatan” adalah termasuk pelayanan rehabilitasi medis. Yang dimaksud dengan “pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi” adalah penggunaaan narkotika terutama untuk kepentingan pengobatan dan rehabilitasi, termasuk untuk kepentingan pendidikan, pelatihan, dan keterampilan — juga untuk kepentingan melatih anjing pelacak narkotika dari pihak Kepolisian Negara Republik Indonesia, Bea dan Cukai, serta Badan Narkotika Nasional dan instansi lainnya.
Mulai dari era 60-an hingga era 80-an, ganja memang populer di dunia. Munculnya era dimana ganja menjadi menu utama sehari-hari bagi komunitas yang menyatakan dirinya sebagai flower generation dalam bentuk lintingan-lintingan dan dikonsumsi dengan cara dibakar (rokok). Flower Generation adalah anak-anak muda berumur di bawah 30 tahun yang hidup di era akhir 1960-an. Di Indonesia, ganja “naik daun” pada tahun 1970-an, bersamaan dengan gelombang Flower Generation tersebut di Amerika, yang orang-orangnya populer disebut kaum Hippies.
Mungkin sudah saatnya Indonesia merubah cara pendekatannya terhadap ganja, bukan dengan semakin melarang kaum muda karena itu hanya akan menjadi mangsanya polisi. Cara kerja otak manusia sangat sederhana, semakin dilarang maka rasa kuriositas semakin tinggi, dan memang kasus terbesar narkotika di Indonesia paling besar adalah ganja.
Ini secara tidak langsung dikarenakan ganja menyumbang uang yang cukup tinggi untuk polisi dan BNN, dan terkadang mereka melakukan trading kasus di dalamnya. Terlalu banyak kasus kriminalisasi yang menjadikan uang berbicara dan hukuman bukan solusi untuk membuat pengguna ganja jera untuk tidak menggunakannya lagi.
– Ganja adalah Budaya Bangsa Indonesia