Baca Ganja – Komoditi ganja yang bernilai tinggi dapat menjadi solusi untuk memulihkan ekonomi, serta berpotensi membangun ekonomi masyarakat Indonesia yang mandiri.
Ganja dalam sejarah pertanian dan kehidupan di Nusantara bukanlah ‘barang baru’, telah digunakan sejak zaman kejayaan Nusantara sebagai komoditi yang bernilai tinggi dan dibudidayakan secara umum, bahkan dapat menjadi alat tukar (barter) dengan komoditi lainnya.
Dalam sejarah berdirinya pusat pasar di Medan, ganja termasuk salah satu komoditi yang dibawa dan dipasarkan pedagang dari Aceh saat berdagang ke Medan. Bahkan masyarakat Batak, Melayu, dan Aceh sudah membentuk kerjasama dalam berbagai bidang sejak dulu termasuk perdagangan. (Sisingamangaraja XII, A. Sibarani, 1980)
Pada masa itu, transaksi barter antara ganja dengan vanilli, atau pun cengkeh banyak terjadi. Ganja dianggap memiliki ‘nilai jual tinggi’ sehingga juga digunakan sebagai alat untuk membayar pajak. Hal serupa juga pernah dilakukan oleh negara bagian AS, di Virginia pada tahun 1763 – 1767 sebelum lahirnya propaganda anti-ganja.
Nilai Jual Ganja di Luar Negeri
Kanada telah melegalkan ganja sejak 17 Oktober 2018 lalu. Menurut proyeksi Badan Statistik Kanada yang berkantor pusat di Ottawa, penjualan ganja bisa menumbuhkan ekonomi mencapai USD 1,1 miliar atau setara Rp15,4 triliun setiap tahun. Tak hanya itu, penerimaan Pajak Penghasilan diperkirakan bisa menembus USD 400 juta. Proyeksi ini dibuktikan dengan tercatatnya Kanada sebagai negara produsen ganja terbesar di dunia pada tahun 2018 dengan produksi 80,7 ton (CNN 31/01/2020).
Saat ini tercatat lebih dari 45 negara yang memanfaatkan ganja dengan regulasi yang berbeda-beda. Tingginya nilai jual yang bisa didapatkan, serta fakta bahwa tanaman ini bisa dimanfaatkan secara medis dan industri akhirnya membuat banyak negara yang tadinya memilih mengikuti undang-undang pelarangan ganja memilih menjadikan tanaman ini sebagai sumber pendapatan bagi negara mereka.
Indonesia sendiri dikenal memiliki salah satu varietas ganja terbaik yang pastinya memiliki nilai jual yang sangat kompetitif. Meskipun Indonesia melarang ganja dimanfaatkan untuk tujuan apapun, Badan Pusat Statistik berhasil mencatat bahwa selama Januari – Juni 2020 saja, ganja Indonesia berhasil menorehkan nilai eksport sebesar USD 46 ribu. Nilai ini sangat diyakini hanyalah puncak gunung es dari fakta peredaran ganja di Indonesia.
Sejarah Monopoli Koorporasi di era Kolonial dan kaitannya dengan lahirnya Bank Sentral
Dalam catatan sejarah perekonomian seluruh dunia termasuk Indonesia, pernah menjadikan emas dan perak sebagai mata uang dalam transaksi, bersamaan dengan praktek barter yang yang dijalankan turun-temurun. Pertukaran antara komoditi dengan komoditi atau komoditi ditukar dengan emas dan perak diberlakukan dalam sistem transaksi pada masa itu.
Hal ini mulai berubah dan ditinggalkan secara perlahan bersamaan dengan masuknya kolonialisme yang menerapkan sistem monopoli dalam menjalankan roda bisnisnya di bumi Nusantara. Secara perlahan sistem monopoli ekonomi yang diterapkan kolonial mampu menggeser fungsi emas dan perak serta barter antar komoditi sebagai alat tukar dalam bertransaksi menjadi menggunakan uang kertas yang dicetak badan swasta yang diberi hak monopoli melalui Bank Sentral.
Di Indonesia sendiri dunia perbankan dan sistem uang Kartalnya mulai diterapkan pada masa kolonialisme Belanda. Saat itu korporasi asing yang memonopoli ekonomi adalah sebuah kongsi dagang Hindia Timur bernama Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). VOC adalah koorporasi multinasional pertama di dunia dan juga perusahaan pertama yang menerapkan sistem pembagian saham.
Saat itu pemerintah Hindia Belanda mendirikan De Javasche Bank pada 24 Januari 1828. Sejak itu sejumlah bank swasta lain bermunculan di Nusantara, semisal Bank Nederlandsch Indische Escompto Maatschappij yang menjadi bank terbesar kedua saat itu (1857). Pada masa akhir Kolonialisme, VOC sendiri akhirnya dinyatakan bangkrut dikarenakan korupsi dalam tubuh VOC sendiri yang akhirnya menyebabkan VOC meninggalkan hutang yang luar biasa banyak kepada Bank Sentral.
Banyak ahli ekonomi yang mengakui bahwa penerapan uang Kartal sebagai alat tukar dunia melewati banyak sekali kontroversi dan penindasan terhadap negara-negara lewat sistem ekonomi yang diterapkan. Pemerintah berdaulat Indonesia sendiri pernah memberlakukan Undang-undang yang mengatur nilai mata uang Indonesia pada 25 Oktober 1946 dengan menerbitkan Oeang Republik Indonesia dimana nilainya 10 rupiah ORI = 5 gram emas, kala itu ORI diterbitkan oleh BNI 46.
Namun sesuai dengan pengumuman oleh Menteri Keuangan kala itu Bapak Sjafrudin Prawiranegara, salah satu hasil dari Konferensi Meja Bundar 23 Agustus – 2 November 1949 akhirnya memutuskan bahwa semua uang yang diterbitkan oleh BNI 46 dinyatakan diganti dengan mata uang federal terbitan De Javasche Bank yang hari ini kita kenal sebagai Bank Indonesia.
Dan akhirnya era penggunaan emas, perak serta barter komoditi yang bernilai tinggi mulai terhapus dari aktivitas transaksi masyarakat. Namun, selama dua dekade belakangan ini kepercayaan masyarakat untuk menjadikan emas dan perak sebagai bentuk investasi meningkat tajam yang dipicu dengan penyebaran sistem perekonomian syariah.
Jatuhnya Uang Kartal serta Potensi Emas, Perak, dan Sistem Barter kembali berlaku
Dimasa-masa awal abad 21, sistem uang Kartal yang dilandasi riba ini mulai memasuki masa kehancurannya. Mulai banyak tokoh-tokoh dunia ataupun pemimpin negara yang mulai bersuara dan menyerukan agar alat tukar negaranya kembali menggunakan emas dan perak serta kembali memberlakukan barter dalam bertransaksi.
Mulai dari Saddam Husein, meskipun masih menggunakan Euro, Presiden Irak ini tercatat sebagai salah satu pemimpin dunia yang pernah melawan dominasi dollar AS dengan kembali menggunakan emas dan perak dalam transaksi dagang. Para cendikiawan Islam seperti Syekh Imron Hosein, Zaim Saidi di Indonesia juga salah satu ahli yang banyak meyerukan ajakan kembali bertransaksi dengan sistem barter atau menggunakan emas dan perak.
Perdana Menteri Malaysia, Mahatir Mohamad menjuluki uang kertas sebagai “toilet paper”. Saat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Negara Islam Dunia di Malaysia, ia menyarankan sebuah gagasan perdagangan dunia menggunakan emas perak dan sistem barter ketimbang menggunakan dollar AS.
Pemerintah Indonesia sendiri pernah mempraktekkan sistem barter saat membeli pesawat Sukhoi SU-35 dari Rusia pada era Presiden BJ Habibie. Sejumlah komoditi eksport Indonesia mulai dari teh, kopi, minyak kelapa sawit ditukar dengan 11 Sukhoi SU-35.
Menukar pesawat produksi IPTN dengan ratusan ribu ton beras ketan Thailand pada tahun 1996, atau taktik yang dilakukan oleh Pepsi agar produknya bisa masuk ke pasar Uni Soviet dengan cara melakukan barter dengan vodka, bahkan kapal perang adalah salah satu contoh lain dijalankannya sistem barter dalam transaksi internasional. Termasuk juga jaringan sistem barter yang diberlakukan Yunani di tengah-tengah krisis finansial yang dialami negara ini sekitar sepuluh tahun yang lalu.
Memberlakukan sistem barter juga menjadi salah satu langkah yang diambil oleh negara-negara yang sedang menghadapi krisis dan isolasi keuangan di panggung dunia seperti Venezuela dan Iran. Bagi kedua negara ini, sistem barter membuat mereka sedikit leluasa dari blokade ekonomi AS.
Potensi Ganja sebagai Komoditi bernilai Tinggi untuk Alat Transaksi
Membaca situasi ekonomi global di masa depan tersebut, tak salah jika meyakini ganja juga akan berpeluang besar menjadi komoditi yang diperhitungkan apabila sistem barter kembali diberlakukan. Dimasa lalu, tanaman ini diakui sebagai komoditi bernilai nilai jual tinggi. Saat ini pun banyak negara-negara yang telah membuktikan menerima pendapatan sangat besar ketika memasukan ganja sebagai komoditi yang di perjual-belikan.
Hal ini berpotensi menguntungkan apabila negara kita mau meninggalkan undang-undang terkait pelarangan pemanfaatan ganja yang terbukti buah dari monopoli dan propaganda. Kualitas ganja Indonesia yang diakui oleh dunia sebagai strain unggulan ikut menguatkan pendapat ini. Indonesia bahkan diyakini mampu melakukan lonjakan tinggi dalam ekonominya apabila mau menjadikan ganja sebagai salah satu pendapatan negara.
Itu sebabnya apabila ganja dapat dijadikan salah satu sumber pendapatan negara maka kita harus melakukan pemanfaatan dengan melibatkan rakyat atau petani untuk menghindari lagi monopoli oleh Koorporasi seperti yang dialami Indonesia pada masa berkuasanya koorporasi (VOC) tempo dulu. Jangan lagi kita membiarkan hasil sumber daya alam kita di eksploitasi oleh koorporasi terutama koorporasi asing seperti hasil bumi lainnya.
Untuk itu, rakyat ataupun petani harus berjuang untuk menolong dirinya sendiri, misalnya dengan membentuk koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan. Koperasi merupakan kumpulan orang dan bukan kumpulan modal, sehingga visi dan misinya betul-betul mengabdi kepada kepentingan perikemanusiaan.
Selain itu, koperasi dapat mengubah sistem kapitalis dari dalam, dan dengan demikian akan menciptakan masyarakat yang harmonis sehingga kekuatan kapitalis tidak berdampak besar kepada masyarakat. Dalam artikel selanjutnya akan dibahas bagaimana mengelola ganja dengan konsep koperasi, sebagaimana dengan prinsip koperasi yaitu dari anggota, oleh anggota, dan untuk anggota.
Sesungguhnya anggapan bahwa masyarakat Indonesia belum siap memanfaatkan ganja adalah anggapan yang nyata-nyata buta sejarah. Sebaliknya, negara kita berhasil menjadi salah satu wilayah yang tidak dapat dipandang sebelah mata oleh dunia jika tanaman ini di budidayakan serta dimanfaatkan dengan baik secara luas oleh masyarakat kita.
Ditambah hasil penelitian modern berhasil membuktikan bahwa tanaman ini juga pernah dijadikan salah satu sumber energi bahan bakar, bahkan merupakan sumber energi yang ramah lingkungan sehingga tidak bertentangan dengan teori Ekosentrisme. Bayangkan nilai yang dapat kita peroleh selain juga memanfaatkan tanaman ini untuk bahan baku pengobatan, industri maupun makanan. Lantas, masihkan anda mau jadi bagian orang-orang yang keliru beranggapan bahwa masyarakat kita belum siap dan belum mampu?
Salam Juang !