Larangan Ganja Menciptakan Diskriminasi Kelompok dan Budaya

Baca Ganja – Kebijakan larangan ganja di negara dunia menciptakan berbagai bentuk diskriminasi secara historis, baik terhadap suatu kelompok dan budaya.

Tepat di bulan Agustus 2022, Indonesia genap memasuki usia 77 tahun kemerdekaan. Namun apakah kita memahami betul makna kemerdekaan sebagai bangsa yang telah merdeka 77 tahun? Atau mungkin bentuk diskriminasi masih menyelinap lewat kebijakan yang diatur oleh negara? Dalam hal kebijakan larangan ganja, bentuk diskriminasi bukan hanya terjadi pada individu, tetapi juga terhadap kelompok dan budaya. Artikel ini akan mengurai diskriminasi yang tercipta akibat larangan ganja, baik di dunia dan Indonesia.

Di Amerika Serikat, awal kebijakan larangan ganja dibalut dengan propaganda dan diskriminasi terhadap masyarakat keturunan Meksiko dan Afrika. Dokumentasi sejarah mencatat Senator Texas tahun 1927 mengucapkan kalimat diskriminatif, yaitu “All Mexicans are crazy, and this stuff (ganja) is what makes them crazy”. Artinya, “semua orang Meksiko gila, dan hal ini (ganja) yang membuat mereka menjadi gila”. Sedangkan di Prancis, kebijakan larangan ganja telah mendiskriminasi kelompok minoritas berdasarkan jumlah narapidana tahanan narkoba, meskipun pemerintah tidak secara langsung memberi stigma terhadap kelompok minoritas.

Larangan Ganja di Prancis dan Diskriminasi Masyarakat Minoritas

Dalam beberapa tahun terakhir, Prancis semakin dekat untuk legalisasi ganja yang telah dilarang sejak tahun 1971. Sinyal untuk mengakhiri larangan ganja ditandai dengan; munculnya ‘coffeeshop CBD’ sejak tahun 2018, meningkatnya dukungan publik terhadap legalisasi ganja, dan uji klinis ganja medis yang telah berlangsung. Masyarakat Prancis tercatat dalam laporan data statistik sebagai pengguna ganja terbanyak di Uni Eropa pada tahun 2020, namun hukuman kebijakan larangan ganja banyak dijatuhkan kepada masyarakat minoritas Muslimnya.

Berdasarkan sumber dari Kementerian Kehakiman Prancis (French Ministry of Justice), sekitar seperlima (1:5) orang tahanan Prancis saat ini adalah narapidana narkoba – sebanding dengan rasio jumlah narapidana narkoba di Amerika Serikat. Dan sebuah studi ilmiah tahun 2018 yang ditugaskan oleh Majelis Nasional Prancis menemukan dari 117.421 penangkapan kasus narkoba pada 2010, sebanyak 86% berkaitan dengan ganja. Studi yang sama melaporkan bahwa setiap tahun jumlah orang yang ditangkap karena ‘penggunaan sederhana’ ganja di Prancis meningkat sepuluh kali lipat antara tahun 2000 hingga 2015; dari jumlah sebanyak 14.501 menjadi 139.683.

Hasil investigasi jurnalis The Guardian, Christopher de Bellaigue pada tahun 2016 mengungkapkan, bahwa sekitar 60%-70% populasi penjara Prancis dihuni oleh masyarakat minoritas Muslim-Arab. Padahal seperti yang dilansir dari Wikipedia, data CIA menunjukkan estimasi total populasi masyarakat Muslim Prancis pada tahun 2015 adalah 7%-9% dari jumlah total 67 jiwa masyarakat. Berdasarkan data ini, dapat diperkirakan bahwa 1 dari 6 narapidana yang berkaitan dengan ganja di Prancis sangat mungkin adalah masyarakat minoritas Muslim.

Sejarah Singkat Larangan Ganja di Prancis

Undang-undang Narkoba yang banyak menjerat masyarakat minoritas Muslim tidak mengejutkan, karena Prancis telah lama menghubungkan Muslim dengan ganja – khususnya resin ganja atau hashish. Ini berangkat dari tokoh bangsawan Prancis, Antoine-Isaac Silvestre de Sacy, yang mempopulerkan gagasan bahwa kata ‘assasin’ (pembunuh) berasal dari kata Arab ‘hashish’, dan berhubungan dengan sekte Muslim abad ke-11 yang dipimpin oleh Hassan-i Sabbah yang dianggap sebagai kelompok ‘pemakan hashish’ yang mematikan.

Dalam catatan perjalanan Marco Polo yang ditulis sekitar tahun 1300, juga disebutkan bahwa sekte yang dipimpin oleh Hassan-i Sabbah yang dijuluki sebagai ‘Orang Tua dari Gunung’ menggunakan ‘ramuan memabukkan’ – yang dipercaya Sacy sebagai ganja, untuk mencuci otak orang di wilayah Persia untuk menjadi pengikutnya yang dibesarkan secara khusus untuk membunuh.

Pada pertengahan abad ke-19, banyak pakar ilmiah dan ahli medis mengutip karya Sacy dalam penelitian mereka. Mereka percaya bahwa ilmu farmasi Barat bisa ‘menjinakkan’ ganja untuk digunakan oleh ahli medis untuk mengobati penyakit. Bahkan selama tahun 1840-an di Prancis, perkembangan ganja khususnya resin ‘hashish’ sangat pesat. Ini ditunjukkan juga dengan terbentuknya komunitas pengguna hashish di Prancis oleh kaum akademi dan intelektual bernama ‘Club des Hashischins’, salah satu anggotanya termasuk Alexandre Dumas, Victor Hugo, serta Dr. Jacques-Joseph Moreau.

Namun penggunaan ganja resmi dilarang secara hukum negara pada tahun 1953. Hal ini sekaligus untuk mempromosikan tatanan kolonial Prancis di Afrika dengan menetapkan kode hukum yang terpisah dan tidak setara, dengan memisahkan pembatasan hak-hak sipil Muslim dan orang Afrika lainnya, dan juga kerja paksa. Akhirnya pandangan diskriminatif dan stigma terhadap penggunaan ganja yang berhubungan dengan masyarakat Muslim dan kriminalitas menyelinap ke dalam pembuatan kebijakan undang-undang narkotika Prancis.

Walaupun pemerintahan Prancis tidak menggunakan penelitian berdasarkan stigma yang menyudutkan hubungan Muslim dengan ganja dalam membuat kebijakan UU Narkotika, tetapi jumlah masyarakat minoritas yang dipenjara karena terkait dengan penggunaan ganja menunjukkan bahwa diskriminasi berbau rasisme dan agama masih hidup dan eksis di Prancis. Hal ini juga ditunjukkan dalam kebijakan larangan ganja yang berlaku di Indonesia, yaitu diskriminasi terhadap budaya lokal.

Larangan Ganja di Indonesia dan Diskriminasi Budaya Lokal

Kebijakan larangan ganja di Indonesia, berdampak pada penuhnya penghuni penjara yang saat ini telah melampaui kapasitas normal (over-capacity).  Dilansir dari Katadata.id, laporan World Prison Brief (WPB) mencatat jumlah narapidana di Indonesia sudah mencapai sekitar 249 ribu orang pada 2020, sedangkan kapasitas penjara secara nasional hanya sekitar 132 ribu.

Berdasarkan laporan direktorat Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) hingga Agustus 2021, tercatat sebanyak 145.413 mayoritas narapidana di Indonesia berkaitan dengan kasus narkoba. Namun tidak ada sumber valid, berapa persentase jumlah pengguna ganja dari total mayoritas narapidana narkoba. Jika menganalisa dari hasil laporan BNN tahun 2019 yang menunjukkan sebanyak 63% dari 3,6 juta pengguna narkoba di Indonesia merupakan pengguna ganja; artinya ada sekitar 2,2 juta pengguna ganja di Indonesia dan mungkin jumlah ini juga mendominasi narapidana narkoba yang berkaitan dengan ganja.

Perbandingan rasio narapidana kasus narkoba di Indonesia berbanding terbalik dengan AS dan Prancis. Di Indonesia, jumlah tahanan penjara di dominasi narapidana narkoba. Sedangkan di AS dan Prancis, narapidana narkoba ditemukan dalam 1 dari 5 orang tahanan. Tahanan penjara yang di dominasi oleh narapidana narkoba ini pun akhirnya menjadi tidak sehat; baik untuk hak atas mendapatkan kelayakan hidup di tengah jumlah tahanan yang melebihi kapasitas, atau justru menjadi tempat untuk memperluas jaringan pasar gelap.

Diskriminasi Budaya Lokal

larangan ganja - bacaganja
Lhokseumawe, Selasa, 28 Juni 2022 (@infobnn_ri)

Kebijakan larangan ganja di Indonesia juga dapat dinilai sebagai bentuk pelecehan dan penghinaan budaya lokal oleh negara lewat undang-undang narkotika yang berlaku saat ini. Hal ini dapat dilihat dari kasus pemusnahan ladang ganja di Aceh, di mana ganja merupakan tanaman masyarakat budaya Aceh yang telah ada sejak sebelum Indonesia merdeka dan terbentuk secara konstitusi. Sebagai institusi terbesar yang mengayomi seluruh warga negaranya, justru negara hadir di tengah masyarakat untuk memusnahkan tanaman ganja dan bukan memeliharanya lewat budaya dan adat masyarakat Aceh.

Dilansir Merdeka.com, seorang kolektor manuskrip kuno di Aceh yang disapa Cek Midi mengatakan bahwa ganja memang sudah menjadi komoditi penting untuk menyajikan masakan yang lezat masa kerajaan Aceh dulu. Zaman dulu, tanaman ganja bahkan menjadi penghias di halaman rumah. Tanaman ini tumbuh di mana saja, bahkan menjadi tumpang sari untuk berbagai tanaman di perkebunan – yang berfungsi menyuburkan lingkungan.

Dari masyarakat Aceh sendiri, cukup banyak profesor dan intelektual yang mendukung regulasi pemanfaatan ganja; salah satunya adalah Prof. H. Musri Musman yang telah meninggalkan pengetahuannya untuk bangsa Indonesia. Akhirnya nilai-nilai diskriminatif terhadap kelompok atau budaya menyusup ke dalam kebijakan larangan ganja; di Prancis diskriminasi masyarakat minoritas, sedangkan di Indonesia diskriminasi budaya.

Indonesia sebagai negara yang memahami Pancasila, seharusnya merawat dan menjaga budaya-budaya lokal, sebagaimana bunyi dari sila ketiga; yaitu Persatuan Indonesia, yang mengartikan keberagaman menjadi satu. Bukan sebaliknya, memaksakan kesatuan dengan menghapus (budaya) yang beragam. Seperti mengutip tulisan kritik dari Bung Hatta, “Apa yang dikatakan persatuan, sebenarnya tidak lain dari ‘persatean’. Daging kerbau, daging sapi, dan daging kambing dapat disate menjadi satu.”


Referensi:
-https://theconversation.com/cannabis-prohibition-in-france-over-the-past-50-years-has-disproportionately-punished-its-muslim-minority-186795

Tinggalkan komentar

Sharing is caring