Baca Ganja – Membandingkan hukum ganja di negeri Gajah Putih dengan Indonesia dan faktor yang menjadi penyebab terbentuknya keadaan hukum saat ini.
Bentuk dukungan pemerintahan Thailand terhadap pemanfaatan ganja medis ditunjukkan dengan merubah hukum yang sebelumnya melarang menjadi membebaskan warganya untuk membudidayakan tanaman ganja dengan jumlah yang tidak dibatasi untuk kebutuhan medis.
Simbolisasi dukungan ini dilakukan pemerintah Thailand dengan membagikan satu juta benih bibit ganja kepada masyarakat. Kebijakan ini akan berlaku secara de facto atau sah pada tanggal 9 Juni mendatang, seperti yang dilansir Forbes (23/5). Namun sebelum warga merayakan pembebasan budidaya ganja, seorang warga ditahan oleh empat oknum polisi karena menanam satu pohon ganja.
Dilansir dari VICE.com (2/6), seorang warga Thailand berusia 56 tahun didatangi oleh oknum polisi berpakaian preman di rumahnya yang terletak di provinsi Chonburi. Pada awalnya oknum polisi mengatakan bahwa mereka sedang menyelidiki kasus sepeda motor yang hilang, tapi akhirnya menangkapnya setelah melihat satu pot tanaman ganja di kamar tidurnya.
Penangkapan tersebut mendapat kritikan keras dari publik setelah kasusnya diberitakan oleh media setempat. Akhirnya empat oknum polisi tersebut diberi sanksi; dipindahkan ke ‘pos tidak aktif’ (inactive post). Melihat dukungan publik terhadap budidaya ganja yang mengkritik keras penangkapan tersebut yang akhirnya oknum polisi diberi sanksi, ini tidak terlepas dari dukungan pemerintah Thailand atas budidaya ganja medis.
Penyebab Hukum Ganja di Thailand dan Indonesia Berbeda
Kebijakan dan hukum dalam suatu negara tidak terlepas dari keadaan politiknya. Awal legalisasi ganja di Thailand di dukung secara politik oleh partai di dalam parlemen pemerintahan. Ganja ditempatkan sesuai tempatnya, yaitu sebagai tanaman yang digunakan dalam budaya masyarakat. Secara tradisional ganja telah digunakan secara luas sebagai bumbu masak, pengobatan dan pijat tradisional, serta rekreasional.
Berbeda dengan di Indonesia, meskipun beberapa budaya masyarakat secara tradisional menggunakan ganja di dalam kehidupan sehari-hari, tetapi negara justru hadir untuk memusnahkan budaya masyarakat tersebut yang seharusnya negara merawat budaya tersebut sebagai bentuk tanggung jawab; seperti memusnahkan tanaman ganja di Aceh yang merupakan budaya tradisional.
Ketika negara gagal merawat suatu budaya masyarakat, artinya negara telah menghianati dan menghina budaya masyarakat yang telah ada bahkan sebelum Indonesia merdeka sebagai negara. Bentuk penghianatan dan penghinaan negara terhadap budaya masyarakat merupakan perselingkuhan di dalam politik, di mana politik di fungsikan sebagai alat transaksional dan bukan untuk mendistribusikan keadilan; termasuk keadilan untuk merawat budaya tradisional masyarakat.
Selain di Aceh, budaya penggunaan ganja juga tercatat dalam pengobatan tradisional Bali dan Maluku. Namun selama politik di Indonesia di fungsikan hanya untuk alat bertransaksi kepentingan dengan kebutuhan, maka kebijakan dan hukum terkait dengan ganja juga akan hanya difungsikan sebagai alat transaksi; sebagaimana kebijakan dan hukum dalam suatu negara tidak terlepas dari keadaan politiknya.