Baca Ganja – Menjawab stigma negatif di tengah masyarakat terkait stereotip pengguna ganja yang disamakan dengan pemadat atau pecandu, berdasarkan argumentasi akademis dan ilmiah.

Stereotip masyarakat Indonesia tentang pengguna ganja saat ini dianggap sama dengan pemadat atau pengguna candu. Walaupun keduanya merupakan kelas golongan narkotika yang sama, tetapi secara ilmiah keduanya berasal dari genus tanaman yang berbeda; tanaman ganja (Cannabis) dan opium (Papaver somniferum). Kedua tumbuhan ini juga mengandung dua senyawa berbeda; ganja menghasilkan senyawa cannabinoid dan opium menghasilkan senyawa opioid.
Pembuka
Walaupun secara ilmiah ganja dan candu (madat) berbeda, termasuk senyawa yang diserap tubuh saat dikonsumsi, banyak masyarakat Indonesia masih kesulitan membedakan keduanya. Kesesatan pemahaman ini bahkan merambah dunia jurnalistik, di mana sebagian media enggan mengoreksi istilah yang digunakan. Akibatnya, muncul pemikiran pragmatis yang menyamaratakan pengguna ganja dengan pemadat, semata-mata karena keduanya termasuk dalam kelas golongan narkotika yang sama, meskipun efek dan risiko yang ditimbulkan berbeda secara signifikan.
Stereotip yang menyamakan pengguna ganja dengan pecandu (atau jenis turunan opium) berpotensi menghambat legalisasi ganja. Kebijakan diskriminatif ini mencerminkan ketakutan yang lahir dari keterbatasan pemahaman, seolah masyarakat belum siap melihat ganja sebagai tanaman dengan potensi medis, dan lebih memilih memandangnya sebagai ancaman semata.
Agar kita tidak lagi terjebak pada bayangan primitif yang memandang ganja sebagai sesuatu yang menakutkan, maka sebagai bangsa yang telah merdeka selama 78 tahun, sudah selayaknya kita juga memerdekakan diri dari belenggu ketidaktahuan. Sebagai manusia yang diberi akal budi, kita seharusnya mampu melihat dan mengolah ganja dengan pemahaman yang lebih bijaksana, demi memanfaatkan potensinya sebaik-baiknya.
Namun seringkali propaganda memengaruhi persepsi yang menyamakan pengguna ganja dengan pemadat dengan alasan memerangi narkotika. Untuk melawan stigma tersebut agar publik tidak terkecoh dengan kesalahan persepsi, maka artikel ini akan mengurai secara akademis mengapa pengguna ganja bukanlah pemadat secara harafiah.
Sejarah Madat atau Candu di Indonesia
Dalam Bahasa Indonesia, kata ‘candu’ telah menjadi makna kiasan yang mengarah pada sesuatu hal yang bersifat adiktif dengan konsekuensi negatif; misalnya kecanduan kopi, kecanduan rokok, kecanduan kekuasaan, kecanduan alkohol, atau kecanduan ganja. Makna candu telah bergeser yang semula merupakan sebuah kata benda untuk tanaman candu atau opium, menjadi sebuah kata kiasan yang artinya mirip dengan “ketagihan.”
Dalam ilmu linguistik, khususnya semantik historis, kita dapat menelaah asal-usul dan perkembangan makna suatu kata, termasuk kata “candu.” Dalam sejarah Indonesia, candu bukanlah barang asing; sejak masa kolonial Belanda, opium telah hadir sebagai komoditas yang sekaligus menimbulkan masalah sosial. Karena pengalaman historis itu, kata candu kemudian memperoleh konotasi negatif dalam ingatan kolektif masyarakat.
Dalam bukunya berjudul Opium to Java, James R. Rush pengarang asal Belanda berpendapat bahwasannya bahkan sebelum masa VOC (1619), candu atau opium telah menjadi komoditas yang diperdagangkan di Pulau Jawa; terutama di pelabuhan Sunda Kelapa. Dan pada masa kolonialisasi VOC, peredaran madat atau candu semakin masif dimana pihak Belanda sampai menyediakan lokalisasi para pemadat hingga membangun pabrik madat. Peredaran candu baru benar-benar dibatasi sejak era pendudukan Jepang (1942).
Tidak terlalu sulit membayangkan kondisi sosial masyarakat saat itu ketika candu dan madat beredar luas jika menghubungkan dengan krisis opioid yang terjadi saat ini di negara bagian AS, Philadelphia, dimana terdapat kota dengan sebutan ‘kota zombie‘ karena mayoritas penduduk kotanya merupakan pengguna opioid; jenis produk turunan opium atau candu.
Candu yang ratusan tahun sudah diperdagangkan di Indonesia pun akhirnya berdampak negatif terhadap kondisi sosial masyarakat hingga akhirnya makna ‘candu’ berubah menjadi kiasan untuk sebuah kegemaran dengan konsekuensi negatif.
Dari uraian semantik historis, akhirnya kita dapat memahami mengapa makna candu mengalami perubahan makna yang lebih luas; yang semula merupakan kata benda untuk jenis turunan opium menjadi kata kiasan untuk mendefinisikan segala hal yang adiktif dan negatif.
Pengguna Ganja Bukan Pemadat / Pecandu
Sampailah pada munculnya kekeliruan atau kesesatan diksi, yakni anggapan bahwa ganja dan opium merupakan jenis tumbuhan yang sama, sehingga pengguna ganja pun kerap disebut pemadat. Kekeliruan ini lahir karena penyamarataan keduanya sebagai bagian dari golongan narkotika, padahal secara botanis maupun kimiawi ganja dan opium berasal dari tumbuhan yang berbeda.
Di bagian awal pembuka uraian ini, telah dijelaskan bahwa ganja dan opium (penghasil candu) berasal dari genus berbeda dan juga menghasilkan senyawa berbeda; cannabinoid dan opioid. Cannabinoid dan opioid yang masuk ke tubuh memiliki jalur komunikasi dan reseptor yang berbeda, sehingga efek yang dihasilkan pun berbeda; baik efek positif atau efek samping.
Fakta perbedaan antara efek penggunaan ganja dan jenis candu dapat dilihat dari data kematian (overdosis) diantara kedua pengguna tersebut; dimana data menunjukkan tingkat kematian yang sangat tinggi akibat overdosis opioid, sedangkan belum ditemukan satupun kasus kematian overdosis akibat murni menggunakan ganja.
Mengapa opioid begitu mematikan bagi penggunanya karena secara ilmiah senyawa opioid berinteraksi dan bekerja pada reseptor opioid yang banyak terdapat di bagian batang otak (brain stem) yang menghubungkan otak dengan sumsum tulang belakang dan mengatur fungsi otomatis seperti pernapasan, detak jantung, dan tekanan darah sehingga berpotensi mengganggu fungsi vital untuk hidup. Sedangkan senyawa ganja (cannabinoid) berinteraksi dengan reseptor endocannabinoid yang sedikit terdapat di bagian batang otak dan banyak terdapat di bagian otak besar dan jaringan-jaringan tisu di seluruh bagian tubuh.
Ganja dan Candu: Pro-sosial dan Anti-sosial
Stereotip pengguna ganja yang disamakan dengan pemadat juga dapat dibantah dengan hasil riset dari para peneliti University of Mexico, yang dipublikasi dalam jurnal Scientific Reports pada bulan Mei 2022. Penelitian dilakukan untuk menyelidik perilaku pro-sosial diantara orang sehat dengan menguji kadar THC (senyawa cannabinoid psikoatif ganja) dalam 146 orang mahasiswa sehat antara usia 18 hingga 25 tahun, dan memberikan serangkaian tujuh pertanyaan untuk peserta.
Hampir setengah peserta dinyatakan positif THC, dan untuk melakukan analisa perilaku sosial kemudian peserta dibagi menjadi dua kelompok; kelompok ‘pengguna’ dan ‘non-pengguna’. Menghubungkan kedua kelompok ini dengan tanggapan jawaban terhadap pertanyaan yang diberikan, para peneliti menemukan kategori ‘pengguna ganja’ mendapat skor nilai lebih tinggi pada ‘perilaku sosial’, ‘keadilan moral’, ‘moral tidak berbahaya’, dan ‘kecerdasan empati’. Tetapi mendapat skor lebih rendah pada ‘loyalitas dalam kelompok’ daripada non-pengguna. Di antara wanita, pengguna ganja mendapat skor lebih tinggi daripada non-pengguna pada skor ‘agresi’. Namun di antara laki-laki, pengguna ganja mendapat skor lebih tinggi daripada non-pengguna dalam hal “agreeableness” (sikap kooperatif).
Baca juga: Uraian dari Ilmuwan Terkemuka, Carl Sagan, tentang efek ganja
Sedangkan dalam penggunaan produk turunan opium / candu atau turunan senyawa opioid lainnya, penelitian yang dipublikasi dalam laman Sage Journals menemukan bahwa penggunaan opioid merupakan faktor penyebab resiko gangguan kepribadian anti-sosial. Kedua riset ilmiah ini jelas menunjukkan adanya perbedaan dalam perilaku sosial antara penggunaan ganja dan opioid (opium).
Konklusi
Dari uraian di atas, kita dapat memahami kata candu secara lebih tepat melalui semantik historis, sekaligus menegaskan perbedaan ilmiah antara tanaman ganja dan candu (penghasil opioid). Pemahaman ini penting agar publik tidak lagi terkecoh oleh diksi yang dipaksakan, seperti menyebut pengguna ganja sebagai pemadat, yang melekatkan makna negatif dan diskriminatif.
Pemerintah, yang diberi amanah oleh rakyat, seharusnya bersikap adil dan tidak diskriminatif terhadap ganja, terutama mengingat bukti potensinya dalam bidang medis. Kasus Fidelis Arie pada 2017 menjadi contoh nyata: upaya penggunaan ganja untuk menyelamatkan hidup istrinya terhalang oleh regulasi negara, yang secara tidak langsung menimbulkan risiko fatal bagi pasien.
Sebagai bangsa yang diberi akal dan nalar, kita tidak perlu bersikap takut atau bingung terhadap sebuah tumbuhan. Sebaliknya, kita harus mampu mengelola dan memanfaatkan tanaman dengan nilai pengobatan yang terbukti, dengan bijak dan ilmiah.
Satu-satunya bukti bahwa kita bukan bangsa primitif adalah kemampuan untuk mengkritik kebijakan yang keliru, menolak kebodohan, dan menentang kemunafikan yang justru diciptakan atau dipertahankan oleh negara. Kritik ini adalah bentuk perlawanan intelektual yang menegaskan kedewasaan berpikir masyarakat.
-Sejarah Narkoba di Batavia (Republika, 16 Oktober 2022) -Cannabis Consumption and Prosociality (Scientific Reports, 19 Mei 2022) -Antisocial Personality Disorder as a Risk Factor for Opioid Use (SAGE Journals, 2021)