Baca Ganja – Mengapa equilibrium atau keadaan seimbang sangat penting dalam kehidupan? Mulai dari sistem tubuh manusia hingga visi etis agama mengajarkan tentang keseimbangan.

Keseimbangan umumnya diartikan sebagai keadaan di mana aksi yang saling berlawanan memiliki kekuatan yang sama. Dalam bahasa Inggris, konsep ini diterjemahkan dengan kata equilibrium atau balance. Meskipun serupa, terdapat perbedaan subtil: equilibrium merujuk pada keadaan seimbang yang terukur, sistematis, dan bersifat statis; sedangkan balance mencerminkan keseimbangan yang lebih dinamis.
Berdasarkan perspektif ilmu pengetahuan, artikel ini berupaya mengurai makna keseimbangan sekaligus menjembatani sains dengan visi etis agama—dua ranah yang sering dianggap bertolak belakang.
Keseimbangan dalam Tubuh: Sistem Endocannabinoid dan Apoptosis Sel
Tubuh manusia memiliki mekanisme untuk menstabilkan kondisi tubuh, dan sistem biologis yang meregulasi kondisi ini disebut sistem endocannabinoid (ECS). ECS berperan sebagai homeostasis untuk menjaga kondisi konstan tubuh agar berfungsi dengan normal dan seimbang: misalnya, tubuh akan mengeluarkan keringat untuk mendinginkan dan menstabilkan suhu tubuh setelah berolahraga.
Suhu tubuh manusia diatur oleh hipotalamus di sistem saraf pusat, yang mengatur respon tubuh mengeluarkan keringat saat suhu tubuh panas untuk menurunkan suhu tubuh, dan sebaliknya mengatur respons tubuh untuk menggigil ketika suhu tubuh menjadi dingin agar meningkatkan suhu tubuh.
Dalam skala mikroskopis, keseimbangan tubuh juga tercermin pada kehidupan sel-selnya. Tubuh manusia terdiri dari sekitar 30 triliun sel yang secara teratur memperbarui diri melalui proses apoptosis—yakni kematian sel terprogram untuk menjaga harmoni jaringan. Bila sejumlah sel gagal menjalani proses ini dan mengalami mutasi genetik, maka resiko timbulnya kanker meningkat.
ECS berperan sebagai salah satu modulasi tambahan yang dapat mempengaruhi proses apoptosis. Dalam riset ilmiah penggunaan ganja untuk penyakit leukemia (kanker darah) menunjukkan bahwa cannabinoid (senyawa ganja) dapat mempengaruhi sel leukemia untuk melakukan apoptosis saat memodulasi reseptor cannabinoid yang merupakan bagian dari ECS.
Tubuh manusia juga dapat menghasilkan senyawa yang mirip dengan ganja, disebut sebagai Anandamide dan 2-AG. Senyawa Anandamide berperan dalam meregulasi pola makan, pola tidur, serta mempengaruhi ‘kebahagiaan’ (pleasure) individu, sebagaimana nama Anandamide berasal dari bahasa Sansekerta, ‘Ananda’ yang artinya ‘kebahagiaan’. Untuk menghasilkan senyawa Anandamide, tubuh memerlukan konsumsi omega-3 dan omega-6 yang cukup.
Sebagaimana tubuh menjaga keseimbangan melalui sistem biologisnya, kehidupan moral manusia pun menuntut mekanisme penyeimbang—antara kebebasan dan tanggung jawab, antara individu dan masyarakat.
Equilibrium dalam Visi Etis Agama: Kehendak Bebas dan Tanggung Jawab Sosial
Sebagian besar ajaran agama—atau teologi—menekankan pentingnya keseimbangan antara kebebasan individu dan keteraturan moral. Nilai keseimbangan ini menjadi dasar filosofis yang menuntun manusia untuk memahami kehidupan secara harmonis, sekaligus menggambarkan bayangan Wujud Sempurna (Perfect Being) dalam dunia yang fana. Karena itulah, Wujud Sempurna kerap dihubungkan dengan keadilan yang mutlak—atau dalam bahasa teologis disebut sebagai Maha Adil.
Wujud Sempurna bersifat transenden dan abstrak; untuk memahaminya, manusia memerlukan kejernihan akal dan kesadaran batin. Dalam ilmu geometri, kesempurnaan ini dapat digambarkan melalui segitiga sama kaki yang memiliki keseimbangan simetris, atau lingkaran yang setiap titiknya berjarak sama dari pusat. Bentuk-bentuk tersebut melambangkan keteraturan dan keharmonisan yang menjadi asas dari segala keberadaan.
Dalam visi etis agama, refleksi tentang Wujud Sempurna termanifestasi dalam kehidupan sosial manusia yang penuh keterbatasan. Ajaran moral agama berfungsi sebagai pedoman untuk menjaga keseimbangan tersebut—agar manusia tidak terjerumus ke dalam ekstremitas, baik dalam kebebasan yang tanpa arah maupun dalam ketaatan yang membutakan nurani. Visi etis ini mengarahkan manusia menuju harmoni sosial yang berkeadilan, yang disebut dalam banyak tradisi sebagai “jalan lurus.”
Karena itu, meskipun kebebasan individu merupakan bagian dari kehendak manusia, keseimbangan moral menuntut adanya tanggung jawab sosial untuk menegakkan keadilan. Sayangnya, visi etis agama ini kerap terdistorsi oleh kepentingan duniawi; agama sering dijadikan alat legitimasi kekuasaan, bukan sebagai sumber nilai yang menuntun manusia menuju keseimbangan dan kedamaian.
Dengan memahami keseimbangan sebagaimana tubuh menjaga homeostasis melalui mekanisme biologisnya, dan sebagaimana agama menuntun keseimbangan antara kehendak bebas dan tanggung jawab sosial, manusia dapat melihat kehidupan secara lebih utuh—sebagai gerak menuju harmoni antara diri, sesama, dan semesta.