Membuka Pintu Legalisasi dengan Sikap Respek terhadap Ganja

Baca Ganja – Saat negara lain telah melakukan pendekatan ilmiah, Indonesia justru masih terbenam dengan stigma buruknya melihat ganja. Mungkin diperlukan perubahan sudut pandang yang radikal dalam melihat tanaman ganja untuk membuka pintu legalisasi di Indonesia.

membuka pintu legalisasi

Perjuangan dalam membuka pintu legalisasi ganja di Indonesia bukanlah hal yang baru. Pergerakan ini telah ada sejak tahun 2010 silam, yang dimulai dari terbentuknya organisasi Lingkar Ganja Nusantara (LGN) saat itu. Namun kita sadar bahwa perjuangan ini tidaklah mudah, jika kita melihat ketetapan hati rezim yang enggan membuka mata dan telinganya terhadap ganja.

Bukannya tidak ada bukti di Indonesia bahwa ganja memiliki potensi menyembuhkan. Contoh kasus yang paling kita ingat adalah yang terjadi pada tahun 2017, dimana seorang suami memberanikan diri menanam ganja untuk mengobati alm. istrinya yang menderita penyakit langka syringomyelia (kista di saraf tulang belakang), namun akhirnya ia harus dibui dan kehilangan sang istri.

Lalu ada juga kasus di tahun 2020, dimana seseorang yang menderita nyeri saraf menggunakan air rebusan ganja untuk mengobati rasa nyerinya, namun ia harus mendekam di penjara. Begitu pula dengan Musa, seorang anak yang menderita cerebral palsy harus meninggalkan dunia, saat ibunya tengah memperjuangkan haknya di Mahkamah Konstitusi untuk mendapatkan pengobatan ganja medis.

Sebagai manusia yang pada dasarnya memiliki kuriositas (keingintahuan), pun akhirnya bertanya, apa yang terjadi di negeri ini? Apakah tidak ada lagi jaminan rasa kemanusiaan? Atau mungkin bangsa ini perlu mengubah sudut pandangnya terhadap ganja, yang hakikatnya juga merupakan mahkluk hidup, bahkan lebih dulu ada di bumi daripada peradaban manusia?

Meski dalam teologi manusia memiliki kodrat yang lebih tinggi dari makhluk hidup lainnya, namun sains menunjukkan bahwa tubuh manusia dibentuk dari triliunan sel aktif, yang mana jika satu sel saja tidak bekerja dengan normal, dapat membahayakan manusia itu sendiri — seperti diserang kanker dan tumor.

Membuka Pintu Legalisasi dengan Mengubah Sudut Pandang terhadap Ganja

tammi sweet

Dalam bukunya berjudul The Wholistic Healing Guide to Cannabis, Tammi Sweet, seorang herbalis dan ahli neurobiologi memberikan pemahaman mendalam dibalik pengobatan ganja medis. Prinsip dasarnya bagaimana ia melihat ganja, bahkan mengubah sudut pandang pribadi, dan saya meyakini pemahaman ini juga dapat mengubah sudut pandang pembaca dalam melihat ganja.

Ganja adalah Master Plant

Ganja bukanlah tanaman herbal yang digunakan dalam jumlah dosis yang banyak, kecuali untuk penyakit kronis spesifik tertentu. Ini bukan dikarenakan ganja merupakan tanaman beracun, melainkan ganja adalah master plant, seperti tanaman ayahuasca, yang digunakan oleh suku pedalaman Amazon.

Sama seperti master plant lainnya, ganja memiliki kemampuan untuk mengubah kesadaran kemanusiaan (consciousness of humanity). Istilah “master plant” sendiri berasal dari tradisi shaman (cenayang) yang meyakini bahwa roh dalam tanaman memiliki kemampuan untuk berhubungan langsung dengan manusia dan mengubah kesadaran manusia.

Hubungan Sekutu antara Manusia dan Ganja

Tanaman — termasuk ganja — adalah sesepuh kita. Mereka telah berevolusi jutaan tahun sebelum manusia dan lebih dulu bertahan hidup dan tumbuh di planet bumi ini. Harusnya kita belajar dari mereka, dan ketika kita datang dengan sikap respek yang kita bawa untuk sesepuh kita, kita memasuki hubungan suci (sacred relationship).

Ketika manusia terpilih dan memilih tanaman tertentu untuk bekerja dengannya, manusia itu sendiri berada dalam hubungan sekutu (ally relationship), dan ganja tercatat telah memliki hubungan dengan kehidupan manusia sejak awal mula peradaban.

Ganja Menawarkan Roh Tanaman Pengobatan

Roh pengobatan (spirit medicine) adalah pengetahuan tertua (oldest science), bahkan lebih tua dari pengetahuan Barat (Western science). Manusia menggunakan keterampilan yang diturunkan dari generasi ke generasi, dan keterampilan tersebut tertanam dalam “DNA” kita yang memungkinkan kita untuk berkomunikasi langsung dengan sesepuh kita, yaitu ganja.

Istilah “DNA” merujuk pada endocannabinoid system (ECS), yang merupakan sistem yang berperan penting untuk mengatur dan menyeimbangkan banyak proses dalam tubuh, termasuk respon imun, komunikasi antar sel, nafsu makan, metabolisme, kualitas tidur, hingga memori.

Kita Harus Berada dalam Hubungan yang Tepat Bersama dengan Ganja

Bekerja dengan ganja, ataupun dengan tumbuhan lainnya, sebagai sekutu tumbuhan yang didasarkan pada hubungan yang terus berkembang seiring waktu, kita percaya tumbuhan akan mendatangkan hadiahnya, dan kita harus membawa seluruh diri kita dan bersedia berada dalam hubungan yang mendatangkan sikap respek, bukan hubungan yang mendominasi — karena menganggap kodrat manusia lebih tinggi — dan merasa ‘mengetahui lebih baik’.

Berada dalam hubungan yang tepat juga artinya kita memperhatikan cara kita menggunakan ganja. Jika kita menggunakan ganja dengan cara yang tidak menghormati hubungan (abusive), maka hal itu akan diikuti dengan penyalahgunaan (abuse).

Konklusi

Indonesia membutuhkan sudut pandang baru dalam melihat tanaman ganja agar membuka pintu legalisasi. Percakapan ganja yang dikaitkan dengan “hanya mencari nasi goreng di tengah malam” ataupun “hanya tertawa” (saat menggunakan ganja) dinilai tidak mampu meyakinkan masyarakat umum yang masih takut terhadap ganja karena stigma buruk yang selalu disuarakan oleh pihak-pihak yang tidak setuju akan legalisasi ganja — terutama pihak pemerintahan yang terkait.

Jika kita mampu meningkatkan kualitas diskusi tentang tanaman ganja, dengan menyerap pemahaman mendalam yang diuraikan diatas, kemungkinan manusia yang masih memiliki akal sehat — atau seseorang dalam pemerintahan terkait yang bertentangan dengan ganja — dapat menyadari dan mengubah sudut pandangnya terhadap tanaman ganja.

Atau mungkin memang di Indonesia jaminan rasa kemanusiaan itu telah benar-benar tiada.

Tinggalkan komentar

Sharing is caring