Ferry Irwandi dan Kelakarnya Mematikan Filsafat

Baca Ganja – Kelakar Ferry Irwandi mematikan filsafat menimbulkan polarisasi opini di kalangan netizen yang terkesan lebih memberikan sensasi daripada ide.

ferry irwandi mematikan filsafat

Di sekitar pertengahan Juli 2025, Ferry Irwandi berkelakar agar jurusan filsafat sebaiknya dihapus saja. Karena sudah tidak lagi relevan, dan ia lebih menekankan pengetahuan yang bersifat empiris. Memang pengetahuan empiris itu penting. Bahkan penelitian empiris diperlukan untuk mendorong legalisasi ganja, seperti salah satu esai yang ditulis oleh ilmuwan astronom, Carl Sagan, yang berjudul Marihuana Reconsidered (1969) tentang efek penggunaan ganja.

Akan tetapi, jika filsafat mati dan pengetahuan kita hanya bertumpu pada pengetahuan empiris juga bisa menjadi sangat keliru. Bagi otak sendiri, begitu juga dengan otak orang lain yang mempercayainya mentah-mentah. Karena pengetahuan empiris itu didapatkan dari hasil interaksi antara objek (benda atau data) dan organ indrawi tubuh. Baik dari penglihatan, pendengaran, penciuman, dan sensasi.

Dan dalam satu waktu, bisa jadi organ indrawi yang menjadi sumber pengetahuan kita ini tidak memberikan fakta yang benar. Misalnya, saat tubuh sehat jeruk akan terasa manis; dan saat sakit jeruk akan terasa masam. Artinya, jika kita hanya bertumpu pada pengetahuan empiris dan mengabaikan filsafat, yang terjadi adalah proses manipulasi.

Kritik atas Kelakar Ferry Irwandi

Dalam contoh yang lebih luas terkait bagaimana pengetahuan empiris itu bisa menjadi alat manipulasi adalah dengan mempercayai data riset secara bulat-bulat, tanpa mempertimbangkan ukuran metode yang digunakan dalam penelitan tersebut. Fenomena ini misalnya seperti hasil survei kepuasaan publik terhadap kinerja Jokowi tahun 2024. Apakah kita harus mempercayainya bulat-bulat? Atau meragukan metodologi surveinya yang memang dirancang untuk menjaga legitimasi politiknya? Tujuan semua itu intinya adalah untuk mempengaruhi persepsi publik. Karena memang pada dasarnya pengetahuan empiris itu lebih mendekati sebuah persepsi daripada apa yang kita sebut sebagai pengetahuan objektif.

Apabila filsafat mati dan hanya bertumpu pada pengetahuan empiris, itu sama artinya kita sebagai manusia hanya bergantung pada indrawi sensorik tubuh kita untuk mendapatkan sumber pengetahuan yang subjektif. Selain itu juga akan mengakibatkan keterbatasan untuk menciptakan ide abstrak atau sebuah teori yang banyak dianggap kaum materialis sebagai sesuatu yang tidak perlu. Yang ujungnya tidak akan membedakan manusia dengan seekor monyet yang batas kecerdasannya hanya sampai mencoba memahami suatu benda apa yang ada ditangan atau dihadapannya.

Baca juga: 

Apapun kelakar Ferry Irwandi terkait mematikan filsafat, narasi semacam itu pada akhirnya lebih menghasilkan sensasi daripada sebuah paradigma baru atau ide pikiran yang dapat menjadi disiplin ilmu untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.


Referensi:
-https://omong-omong.com/ferry-irwandi-bukan-seorang-mesias
-https://bacaganja.com/carl-sagan-ilmuwan-yang-menulis-essay-ganja
-https://nasional.kompas.com/read/2024/10/04/16081911/survei-indikator-mayoritas-masyarakat-puas-kinerja-jokowi-selama-2-periode

Tinggalkan komentar

Sharing is caring