Efektivitas Cannabinoid Mengobati Penyakit Neurodegeneratif (Alzheimer, Parkinson, Huntington, ALS)

Baca Ganja – Penelitian efektivitas senyawa ganja (cannabinoid) dalam mengobati penyakit neurodegeneratif, seperti Alzheimer, Parkinson, Huntington, ALS.

efektivitas ganja mengobati neurodegeneratif

Mekanisme kerja cannabinoid adalah dengan memengaruhi sistem endocannabinoid (ECS) melalui aktivasi salah satu reseptor cannabinoid (CB1) di sistem saraf pusat. Aktivasi ini memiliki banyak manfaat terapeutik, termasuk sebagai pelindung saraf terhadap gejala neurodegeneratif.

Neurodegeneratif merupakan gangguan yang menyebabkan kerusakan dan kematian sel saraf secara bertahap di otak. Kerusakan ini mengakibatkan penurunan fungsi kognitif, motorik, dan emosional. Penyebabnya bervariasi, mulai dari faktor genetik, stroke, tumor, paparan zat kimia, hingga trauma fisik. Hingga kini, belum ada pengobatan yang dapat menyembuhkan secara total.

Hasil uji klinis menunjukkan bahwa cannabinoid (THC dan CBD) memiliki efektivitas terapeutik ketika memodulasi reseptor CB1, yang banyak terdapat di beberapa area otak:

  • Cerebrum : memori, pembelajaran, kontrol motorik, perilaku, emosi, dan pengambilan keputusan.
  • Hippocampus : memori jangka pendek/panjang, regulasi emosi dan stres, motivasi, serta sistem penghargaan (reward system).
  • Batang otak : kontrol gerakan, persepsi nyeri, fungsi motorik otomatis, dan refleks.
  • Cerebellum : koordinasi gerakan, keseimbangan, postur, dan pembelajaran motorik.

Beberapa jenis penyakit neurodegeneratif yang diteliti dapat diobati oleh cannabinoid adalah: 

Alzheimer

Alzheimer merupakan gangguan sistem saraf pusat yang menyerang cerebrum dan hippocampus, menyebabkan penurunan fungsi memori serta regulasi emosi. Penyakit ini bertanggung jawab atas sekitar 60-70% kasus demensia. Data WHO (2021) menunjukkan bahwa lebih dari 57 juta orang hidup dengan demensia di seluruh dunia, dengan hampir 10 juta kasus baru setiap tahun. Di Indonesia, World Alzheimer Report (2019) mencatat ada sekitar 1,8 juta penderita, yang diperkirakan meningkat menjadi 2 juta pada 2030.

Penelitian praklinis menunjukkan cannabinoid sebagai target terapeutik menjanjikan untuk Alzheimer. Misalnya, studi di Hebrew University of Jerusalem (2008) menemukan bahwa CBD dapat memperlambat progresi penyakit pada model tikus, meningkatkan kemampuan belajar, dan mempercepat penyelesaian labirin dua kali lebih cepat dibanding kelompok kontrol.

THC, yang juga merupakan agonis—mengikat—reseptor CB1/CB2, mampu menghambat enzim pembentuk plak amiloid—penyebab Alzheimer—lebih efektif dibanding obat konvensional seperti donepezil dan tacrine (The Scripps Research Institute, 2006). Studi di Salk Institute (2016) menambahkan bahwa THC dapat mengurangi peradangan dan akumulasi plak beta-amiloid pada kultur sel otak manusia.

Beberapa laporan juga menunjukkan bahwa dosis rendah THC dapat memulihkan memori yang menurun akibat penuaan pada tikus tua (Science Daily, 2017). Sifat neuroprotektif cannabinoid—mencegah kematian sel saraf—memberikan efek pelindung pada Alzheimer, selain itu juga memiliki efek anti-inflamasi, meningkatkan neurotrofin, dan merangsang neurogenesis (British Journal of Pharmacology, 2009).

Tinjauan literatur 2020 menyimpulkan bahwa cannabinoid mengurangi peradangan saraf dan stres oksidatif, dengan potensi aman, ekonomis, dan minim efek samping. Meskipun belum ada uji klinis besar, studi kecil dan laporan kasus menunjukkan efektivitas terhadap gejala agitasi, kecemasan, dan gangguan tidur.

Penelitian di Charité-Universitätsmedizin Berlin (2006) melaporkan bahwa pemberian 2,5 mg THC sintetis (dronabinol) selama dua minggu menurunkan aktivitas motorik malam hari dan agitasi pasien Alzheimer. Studi lain menunjukkan pemberian THC oral hingga dosis 10 mg membantu mengurangi agitasi dan meningkatkan berat badan pada pasien stadium lanjut. Penelitian Tel-Aviv University (2016) melaporkan efektivitas minyak THC selama empat minggu menurunkan delusi, iritabilitas, apati, serta memperbaiki tidur pasien Alzheimer, dan aman sebagai terapi tambahan.

Uji klinis terkontrol tahun 2018 menemukan nabilone secara signifikan mengurangi agitasi. Studi yang publikasi National Institute of Health (2020) juga menunjukkan bahwa penggunaan THC atau CBD pada pasien lanjut usia dapat memperbaiki suasana hati, mengurangi kecemasan dan impulsivitas, meningkatkan jam tidur dan kontrol nyeri, bahkan mengurangi penggunaan obat psikoaktif sintetis seperti alprazolam.

Parkinson

Parkinson adalah gangguan neurodegeneratif kedua yang paling umum setelah Alzheimer, pertama kali diidentifikasi oleh dr. James Parkinson (1817) melalui tulisannya “An Essay on the Shaking Palsy.” Gejala khasnya meliputi tremor, kekakuan otot, bradikinesia, dan gangguan keseimbangan.

Penyakit ini umumnya muncul di usia sekitar 60 tahun dan jarang terjadi pada anak-anak atau remaja. Di Indonesia, prevalensi diperkirakan 100-200 kasus per 100.000 orang, dengan angka global sekitar 1% pada usia >60 tahun dan meningkat menjadi 3% pada usia >80 tahun. Jumlah penderita diperkirakan akan melebihi 20 juta orang pada 2050 akibat penuaan populasi global.

Penyakit Parkinson terjadi karena degenerasi saraf di substantia nigra (batang otak), penghasil dopamin. Ini mengakibatkan terganggunya produksi hormon dopamin di otak sebagai pembawa pesan sinyal saraf (neurotransmitter) yang bertanggung jawab dalam mengatur gerakan halus dan koordinasi motorik. Parkinson juga bisa disebabkan oleh gumpalan protein sinuklein pada sel saraf (Lewy bodies), dan cedera atau trauma fisik di kepala. 

Sampai saat ini, belum ada pengobatan yang bisa menyembuhkan Parkinson secara total, yang tersedia hanya beberapa obat konvensional untuk mengurangi gejala penyakit ini. Di antara jenis pengobatan tersebut, yang paling memiliki efek samping paling ringan adalah cannabinoid CBD pada ganja.

Di AS, pasien Parkinson umumnya menggunakan ganja untuk terapi, dan sebuah survei pada tahun 2021 menunjukkan bahwa hampir 25% pasien Parkinson melaporkan menggunakan ganja dalam enam bulan terakhir. Pasien Parkinson mengaku bahwa penggunaan ganja secara signifikan meringankan gejala, termasuk nyeri, depresi, kekakuan/akinesia, serta membantu tidur lebih nyenyak.

Penelitian Tel-Aviv University (2017) menemukan bahwa menghirup ganja selama 30 menit memperbaiki tremor, kekakuan, dan bradikinesia tanpa efek samping berat. Studi tambahan menilai penggunaan harian oleh 47 pasien selama 3-84 bulan, dengan 82% melaporkan perbaikan gejala secara keseluruhan, termasuk penurunan nyeri, tremor, dan kekakuan, serta peningkatan kualitas tidur dan mood. Uji klinis menunjukkan efektivitas CBD mengurangi gangguan tidur REM (rapid eye-movement), meningkatkan kualitas hidup, menurunkan kecemasan, tremor, dan gejala psikosis.

Huntington

Huntington adalah gangguan degeneratif pada cerebral cortex dan striatum (otak besar), yang menyebabkan kelainan motorik dan demensia. Penyakit langka ini pertama kali diidentifikasi oleh George Huntington pada tahun 1872, penyebabnya diketahui berasal dari faktor genetika, dan dapat diwariskan dari orangtua kepada anaknya. 

Sampai saat ini, tidak ada data nasional tentang penyakit Huntington di Indonesia. Namun data dari sumber informasi medis (Manual MSD, 2004) melaporkan, penyakit ini memengaruhi sekitar 3 dari 100.000 orang, yang gejalanya biasa dimulai antara usia 35 dan 40 tahun, tetapi terkadang sebelum memasuki usia dewasa. Belum ada terapi konvensional yang diketahui dapat meredakan gejala atau memperlambat degenerasi striatal yang berkaitan dengan penyakit Huntington.  

Studi menunjukkan cannabinoid memiliki potensi untuk mengobati Huntington. Uji klinis acak terkontrol di Inggris (2009) dengan cannabinoid farmasi (nabilone) pada 44 pasien menunjukkan perbaikan perilaku dan gejala. Studi 2016 dan 2018 menggunakan ekstrak ganja (Sativex) menunjukkan hasil bervariasi; satu studi tidak menunjukkan perubahan signifikan, sementara studi lain memperlihatkan peningkatan skor motorik. Tinjauan literatur tahun 2021 terhadap 22 studi menyimpulkan mayoritas mendukung penggunaan ganja medis untuk meningkatkan motorik dan kualitas tidur, meski uji coba lanjutan pada manusia masih diperlukan.

Para peneliti “merekomendasi agar dokter mempertimbangkan untuk meresepkan ganja medis sebagai pengobatan tambahan untuk meredakan gejala, memperlambat perkembangan, atau mengurangi kejang, tremor, spastisitas, chorea, distonia, serta gangguan perilaku neuropsikiatri dan gangguan tidur pada pasien dengan penyakit Huntington.”

Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS)

ALS, atau dikenal sebagai penyakit Lou Gehrig, merupakan gangguan degeneratif saraf yang secara perlahan menghancurkan neuron motorik, membuatnya berhenti bekerja, sehingga otot tidak mendapatkan sinyal untuk mengkoordinasi gerak tubuh. Penyakit ini menyerang sumsum tulang belakang, batang otak, dan korteks motorik. 

Data penyakit ALS di Indonesia masih sangat terbatas dan tidak lengkap, namun laporan dari Yayasan ALS Indonesia menemukan sekitar 150 kasus yang terdeteksi antara tahun 2015 dan 2025 (Kompas, 2025). Sedangkan di AS, data tahun 2022 menemukan sekitar 33.000 orang hidup dengan ALS, yang sering kali muncul secara spontan dan menyerang orang dewasa yang sebelumnya sehat.

Model praklinis menunjukkan cannabinoid dapat memperlambat perkembangan ALS, mengurangi gejala nyeri, kehilangan nafsu makan, spastisitas, depresi, dan air liur berlebih. Penelitian California Pacific Medical Center (2004) melaporkan THC dapat menahan laju progresi penyakit dan memperpanjang harapan hidup pada model tikus. Studi di Spanyol (2014) dengan ekstrak Sativex menunjukkan perlambatan ALS tahap awal. Penelitian terbaru pada tahun 2021, menemukan bahwa CBD mungkin memiliki potensi untuk memodifikasi jalannya penyakit ALS. 

Namun hingga saat ini, belum ada data klinis yang mendokumentasikan secara jelas efektivitas cannabinoid pada pasien ALS. Dalam sebuah uji coba terkontrol secara acak dengan plasebo di ALS Clinic, Switzerland (2010), pemberian THC dengan dosis 5 mg dua kali sehari gagal menunjukkan pengurangan intensitas kram pada 22 pasien ALS. 

Beberapa peneliti, seperti dari University of Washington Medical Center (2010) berpendapat, “berdasarkan data ilmiah yang tersedia saat ini, masuk akal untuk berpikir bahwa ganja mungkin secara signifikan memperlambat perkembangan ALS, berpotensi memperpanjang harapan hidup dan secara substansial mengurangi beban keseluruhan penyakit.” Pendapat serupa juga disetujui oleh ahli neurologi dari Italia (2016), yang menegaskan bahwa, “ada dasar rasional yang valid untuk mengusulkan penggunaan senyawa cannabinoid dalam manajemen farmakologis pasien ALS.”

Penelitian efektivitas cannabinoid dalam mengobati beberapa jenis penyakit neurodegeneratif ini, selayaknya mendapatkan perhatian agar pasien dapat memilih pengobatan alternatif dengan efek samping yang lebih ringan dibandingkan jenis pengobatan sintetis lainnya. 


Referensi tambahan:
-Cannabidiol and (−)Δ9-tetrahydrocannabinol are neuroprotective antioxidants (1998)
-Cannabis in Parkinson's Disease: The Patients' View (2021)
-Self-reported efficacy of cannabis and other complementary medicine modalities by Parkinson's disease patients in colorado (2015)
-Cannabis use in people with Parkinson's disease and Multiple Sclerosis: A web-based investigation (2017)
-Survey on cannabis use in Parkinson's disease: Subjective improvement of motor symptoms (2004)
-Effects of acute cannabidiol administration on anxiety and tremors induced by a Simulated Public Speaking Test in patients with Parkinson's disease (2020)
-Effects of cannabidiol in the treatment of patients with Parkinson's disease: an exploratory double-blind trial (2014)
-Cannabidiol: a promising drug for neurodegenerative disorders? (2009)
-Cannabinoids: novel medicines for the treatment of Huntington's disease (2012)
-The multiplicity of action of cannabinoids: implications for treating neurodegeneration (2011)
-Neuroprotective effects of phytocannabinoid-based medicines in experimental models of Huntington's disease (2011)
-Cannabis and amyotrophic lateral sclerosis: hypothetical and practical applications, and a call for clinical trials (2010)

Tinggalkan komentar

Sharing is caring