Baca Ganja – CBD (cannabidiol) adalah salah satu senyawa utama dari tanaman ganja selain THC (tetrahydrocannabinol). CBD bersifat non-psikoaktif, dan telah diteliti memiliki banyak manfaat medis. Seperti apa cara kerja CBD dalam tubuh dan efek medis yang bisa didapat?
Sebelum membahas lebih dalam, perlu diketahui bahwa CBD memiliki sifat anti-bakteri dan anti-virus. Senyawa ini menghasilkan banyak efek melalui jalur-jalur molekuler. Literatur ilmiah telah mengidentifikasi lebih dari 65 target molekuler senyawa CBD dalam tubuh.
Meskipun ikatan CBD terhadap 2 reseptor cannabinoid (CB-1 dan CB-2) cenderung lebih lemah, tidak seperti THC (Tetrahydrocannabinol), tapi CBD menstimulasi kedua reseptor cannabinoid dengan memodulasi beberapa reseptor non-cannabinoid dan saluran ion.
Pada dosis rendah, CBD dapat meningkatkan dan menjaga kesehatan tubuh, termasuk efek antioksidan, anti-inflamasi, dan perlindungan saraf. Bahkan penelitian menunjukkan CBD lebih efektif daripada vitamin C dan E sebagai antioksidan pelindung saraf dan dapat memperbaiki kondisi kulit seperti jerawat.
Cara kerja CBD adalah melalui berbagai jalur reseptor-independen dan dengan meningkatkan atau menghambat pengikatan reseptor CB-2 atau dikenal dengan Reseptor terhubung-protein G (G protein-coupled receptors).
Berikut penjelasan interaksi CBD didalam tubuh melalui reseptor CB-2 atau reseptor terhubung protein-G dan dampak medisnya.
Reseptor Serotonin
Ketika mengkonsumsi CBD dengan konsentrasi CBD yang tinggi, maka secara langsung akan mengaktifkan reseptor serotonin 5-HT1A (hydroxytryptamine), sehingga memberikan efek anti-kecemasan.
Reseptor terhubung-protein G ini terlibat dalam berbagai proses biologis dan neurologis, termasuk kecemasan, kecanduan, nafsu makan, tidur, persepsi rasa nyeri, mual, dan muntah.
5-HT1A berasal dari kelas famili reseptor 5-HT, yang diaktifkan oleh neurotransmitter serotonin. Ditemukan dalam sistem saraf pusat dan perifer, reseptor 5-HT memicu intraseluler pesan-pesan kimiawi untuk menghasilkan respons rangsang atau penghambatan, tergantung pada konteks kimiawi dari pesan tersebut.
CBDA (Cannabidiolic Acid) atau asam cannabidiol, adalah senyawa CBD pada tumbuhan ganja segar sebelum materi tanaman dipanaskan, memiliki kecenderungan yang kuat untuk berikatan dengan reseptor 5-HT1A (lebih dari CBD). Penelitian menunjukkan bahwa CBDA adalah anti-emesis (anti mual) yang kuat, lebih kuat daripada CBD dan THC yang juga memiliki sifat anti-mual.
Reseptor Vanilloid dan Reseptor Capsaicin (TRPV1)
CBD secara langsung berinteraksi dengan berbagai saluran ion sehingga efek terapi dapat bekerja. Salah satunya CBD berikatan dengan reseptor TRPV1, yang juga berfungsi sebagai saluran ion. TRPV1 diketahui memediasi persepsi nyeri, peradangan, dan suhu tubuh.
TRPV1 disebut sebagai reseptor vanilloid, nama “vanilloid” berasal dari kacang vanilla, yang mengandung eugenol (minyak esensial yang memiliki sifat antiseptik dan anti-nyeri), dan membantu melancarkan pembuluh darah. Dalam sejarah, kacang vanila digunakan sebagai obat tradisional untuk sakit kepala.
CBD cenderung berikatan dengan TRPV1, yang dapat memengaruhi persepsi nyeri. TRPV1 juga disebut sebagai reseptor capsaicin, dikarenakan senyawa capsaicin yang terdapat dalam cabai juga mengikat reseptor TRPV1.
Reseptor GPR55- Reseptor Orphan
Meskipun cara kerja CBD secara langsung mengaktifkan reseptor serotonin 5-HT1A dan beberapa saluran ion TRPV, penelitian menemukan bahwa CBD juga berfungsi sebagai antagonis yang menghambat atau menonaktifkan reseptor GPCR lainnya yang dikenal sebagai GPR55.
GPR55 dikenal sebagai “reseptor orphan“, ilmuwan memakai nama “orphan” yang artinya “yatim”, karena masih ada ketidak yakinan apakah GPR55 memiliki famili reseptor yang lebih besar. GPR55 diekspresikan secara luas di otak, terutama di otak kecil. Terlibat dalam memodulasi tekanan darah dan kepadatan tulang diantara proses fisiologis lainnya.
GPR55 mendukung fungsi sel osteoklas — sel raksasa — yang memfasilitasi reabsorpsi tulang. Pensinyalan reseptor GPR55 yang terlalu aktif dikaitkan dengan osteoporosis.
GPR55 juga mendukung pertumbuhan sel kanker yang sangat cepat (proliferasi), menurut studi yang dilakukan pada tahun 2010 oleh peneliti dari Chinese Academy of Science di Shanghai, reseptor ini diekspresikan dalam berbagai jenis kanker.
CBD adalah antagonis GPR55, seperti yang dijelaskan oleh ilmuwan dari University of Aberdeen, Ruth Ross pada konferensi International Cannabinoid Research Society di Lund, Swedia, tahun 2010. Dengan memblokir pensinyalan GPR55, CBD dapat bertindak untuk mengurangi reabsorpsi tulang dan proliferasi sel kanker.
Reseptor PPARs (Peroxisme Proliferator-Activated Receptors) – Reseptor Nuklir
CBD juga memberikan efek anti-kanker dengan mengaktifkan PPAR yang terletak di permukaan inti sel. Reseptor yang aktif dikenal sebagai PPAR-gamma yang memiliki efek anti-proliferasi serta kemampuan untuk menghambat pertumbuhan sel tumor.
Aktivasi PPAR-gamma membersihkan plak amiloid-beta, molekul kunci yang terkait dengan perkembangan penyakit Alzheimer. Ini adalah salah satu alasan mengapa CBD dapat menjadi obat yang berguna untuk pasien Alzheimer.
Reseptor PPAR juga mengatur gen yang terlibat memberi energi homeostatis — yang bersifat stabil — dalam pengambilan lipid, sensivitas insulin, dan fungsi metabolisme lainnya. Sehingga penderita diabetes dapat mengambil manfaat dari pengobatan yang kaya akan senyawa CBD.
Baca juga: CBD mampu melawan virus, bakteri, dan kanker
CBD Sebagai Penghambat Proses Reabsorpsi
Bagaimana CBD masuk ke dalam sel untuk berikatan dengan reseptor nuklir? Pertama, cara kerja CBD dengan melewati membran sel mengikuti protein pengikat asam lemak (FABP), yang mendampingi berbagai molekul lipid ke bagian dalam sel.
Molekul transport ini juga membawa molekul THC (Tetrahydrocannabinol) dan molekul anandamide dan 2-AG (endocannabinoid alamiah) yang mirip seperti molekul THC pada ganja, melintasi membran ke beberapa target di dalam sel. CBD dan THC keduanya memodulasi reseptor pada permukaan inti, yang mengatur ekspresi gen dan aktivitas mitokondria.
Cannabidiol memiliki kecenderungan ikatan yang kuat terhadap empat jenis protein pengikat asam lemak (FABP), dan CBD bersaing dengan anandamide, yang juga merupakan asam lemak dalam molekul transport yang sama.
Begitu berada di dalam sel, anandamide dipecah oleh FAAH [asam lemak amida hidrolase] — enzim metabolit — sebagai bagian dari siklus hidup molekul yang alamiah. Tetapi CBD mengganggu proses ini dengan mengurangi akses anandamide ke molekul transport FABP dan menunda jalannya endocannabinoid ke bagian dalam sel.
Menurut tim ilmuwan dari Stony Brook University, sifat CBD yang menghambat dan menunda jalannya endocannabinoid ke dalam sel, meningkatkan kadar endocannabinoid (mis: anandamide) dalam sinapsis otak.
Peningkatan endocannabinoid melalui penghambatan reabsorpsi endocannabinoid menjadi kunci, dimana CBD dapat memberikan efek neuroprotektif terhadap kejang, serta manfaat kesehatan lainnya.
Efek anti-inflamasi dan anti-kecemasan yang dihasilkan CBD, sebagian disebabkan oleh penghambatan adenosin — yaitu sumber energi utama sel untuk sistem transpor dan enzim. Dengan menunda reabsorpsi neurotransmitter ini, CBD meningkatkan kadar adenosin di otak, yang mengatur aktivitas reseptor adenosin.
Reseptor adenosin A1A dan A2A memainkan peran penting dalam fungsi jantung dan pembuluh darah, mengatur konsumsi oksigen miokard dan aliran darah koroner. Reseptor ini memiliki efek anti-inflamasi yang luas di seluruh tubuh.
Sebagai Modulator Alosterik
CBD juga berfungsi sebagai modulator reseptor alosterik, yang berarti CBD dapat meningkatkan atau menghambat reseptor mentransmisikan sinyal dengan mengubah bentuk reseptor.
CBD bertindak sebagai “modulator alosterik positif” dari reseptor GABA-A. Dengan kata lain, ia berinteraksi dengan reseptor GABA-A melalui peningkatan kemampuan pengikat reseptor untuk agonis endogen utamanya, asam gamma Aminobutyric (GABA), yang merupakan neurotransmitter penghambat utama dalam sistem saraf pusat mamalia. CBD mengurangi kecemasan dengan mengubah bentuk reseptor GABA-A dengan cara memperkuat efek menenangkan alami GABA.
CBD teridentifikasi sebagai “modulator alosterik negatif” dari reseptor cannabinoid CB-1, yang terkonsentrasi di otak dan sistem saraf pusat. Sementara CBD tidak mengikat ke reseptor CB-1 secara langsung seperti THC, CBD berinteraksi secara alosterik dengan CB-1 dan mengubah bentuk reseptor dengan cara melemahkan kemampuan CB-1 untuk mengikat THC.
Sebagai modulator alosterik negatif dari reseptor CB-1, CBD menurunkan tingkat psikoaktivitas THC. Menjadi penyebab mengapa efek “tinggi” yang disebabkan THC tidak terlalu kuat ketika mengkonsumsi CBD dan THC secara bersamaan, daripada hanya mengkonsumsi THC.
Referensi :
-projectcbd.org/science/how-does-cbd-work
-ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2737440
-nature.com/articles/onc2010502
-ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5569602/