Baca Ganja – Penelitian tentang hormon dopamin sebagai pemicu efek psikosis pada pengguna ganja, dan dalam ruang sosio-politik terkait candu kekuasaan.
Pengantar
Selama ini, stigma terhadap pengguna ganja di tengah masyarakat selalu dikaitkan dengan dengan senyawa cannabinoid psikoaktif-nya, yaitu tetrahydrocannabinol (THC); yang dianggap memabukkan dan dapat mempengaruhi kesadaran seseorang. Dasar ini juga yang membenarkan kebijakan diskriminatif ganja di Indonesia. Namun, hasil riset ilmiah yang diterbitkan JAMA (Jurnal Asosiasi Medis Amerika) pada bulan April 2025, menemukan fakta sebaliknya; bahwa penyebab psikosis (gangguan mental) pada pengguna ganja lebih berkaitan dengan disregulasi sistem hormon dopamin di otak.
Memang benar bahwa THC bersifat psikoaktif, yang dapat mempengaruhi bahkan meningkatkan intensitas persepsi atau kesadaran seseorang; dan kebanyakan orang langsung menjustifikasinya sebagai hal yang negatif tanpa terlebih dahulu memahami bagaimana senyawa THC bekerja di otak. Cara THC mempengaruhi kesadaran adalah dengan mengaktifkan reseptor cannabinoid di bagian precuneus (lapisan terluar dari otak besar) yang berkaitan dengan proses refleksi diri atau kontemplasi dalam praktek meditasi. Penelitian yang sudah ditulis dalam esai Pengetahuan Ganja ini, menunjukkan bahwa efek dari senyawa THC lebih berkaitan dengan keadaan meditatif daripada psikosis.
Psikosis merupakan kondisi gangguan fungsi otak yang ditandai dengan ketidakmampuan membedakan realitas eksternal dan pengalaman pribadi; dalam psikologi disebut delusi atau halusinasi. Meskipun keadaan meditatif dan psikosis sama-sama berkaitan dengan perubahan proses mental, namun keduanya berbeda dalam mempengaruhi persepsi; yang satu lewat refleksi, sedangkan yang terakhir lewat manipulasi.
Esai ini selanjutnya akan membahas penelitian mengenai penyebab psikosis pada pengguna ganja, diikuti dengan penjelasan bagaimana dopamin menyebabkan psikosis, dan mengidentifikasi gejala psikotik dalam ruang sosial-politik sehingga menciptakan kecanducan kekuasaan; berdasarkan sumber dari jurnal akademik ilmiah.
Riset: Hormon Dopamin Memicu Psikosis pada Pengguna Ganja

Penelitian dari McGill University di Kanada menemukan penyebab psikosis pada pengguna ganja diakibatkan oleh hormon dopamin, bukan karena senyawa cannabinoid THC. Hasil visual mesin MRI (Magnetic Resonance Imaging) mendeteksi adanya peningkatan sinyal neuromelanin di bagian otak tengah yang mengidentifikasikan keberadaan hormon dopamin. Fungsi dopamin adalah sebagai neurotransmitter; penghantar pesan atau sinyal antar sel saraf (neuron) di otak dan tubuh yang mengatur suasana hati (mood) dan mempengaruhi motivasi seseorang. Kelebihan hormon dopamin menyebabkan kesenangan atau kenikmatan berlebih yang dikaitkkan dengan psikosis.
Riset dilakukan dengan metode penelitian kohort longitudinal yang melibatkan 61 orang pengguna ganja selama satu tahun, termasuk individu yang teridentifikasi memiliki gejala psikosis awal. Peneliti mengamati adanya peningkatan sinyal hormon dopamin pada kelompok dengan gejala psikosis awal, dan tidak menunjukkan peningkatan dopamin dalam kelompok tanpa gejala psikosis awal selama penelitian berlangsung.
Senyawa cannabinoid dalam tumbuhan ganja tidak secara langsung mempengaruhi hormon dopamin, melainkan bekerja melalui reseptor cannabinoid (CB1 dan CB2) di otak. Saat cannabinoid mengikat reseptor ini, maka akan mempengaruhi pelepasan senyawa anandamide, yang berfungsi sebagai penyeimbang (buffer) terhadap aktivitas berlebihan dopamin. Pada pengguna ganja dengan gejala awal psikosis, mekanisme ini justru dapat memperburuk kondisi karena dopamin semakin meningkat. Sebaliknya, pada pengguna tanpa gejala psikosis, tidak terjadi peningkatan dopamin yang signifikan.
Cara Hormon Dopamin Menyebabkan Psikosis
Dalam kehidupan sehari-hari, kondisi mental manusia berkaitan dengan aktivitas hormon yang mengirimkan sinyal ke otak dan tubuh untuk menghasilkan berbagai sensasi.
Dopamin berfungsi untuk meningkatkan motivasi, fokus, dan kepuasan. Oksitosin berfungsi meningkatkan ikatan sosial dan emosional. Serotonin berfungsi mengatur stabilitas mood dan pencernaan. Dan di antara ketiga hormon tersebut, yang paling berpotensi menyebabkan gejala psikotik adalah hormon dopamin. Ini disebabkan karena dua hal;
Pertama, secara biokimiawi, dopamin diproduksi dan berperan aktif dalam jalur mesolimbik yang berasal dari otak tengah (midbrain). Hiperaktivitas dopamin di jalur ini telah terbukti berkaitan langsung dengan munculnya gejala awal psikosis dan skizofrenia. Kedua, dopamin memainkan peran sentral dalam sistem penghargaan (reward system) dan penilaian saliens (salience attribution), yaitu bagaimana otak menentukan apa yang menjadi tujuan atau kepentingan. Ketika sistem ini terganggu, seseorang dapat menganggap stimulus netral sebagai sesuatu yang luar biasa penting, yang menjadi dasar dari gejala psikotik. Kedua faktor ini saling berkaitan: overstimulus sensorik dapat memicu peningkatan aktivitas dopamin, yang kemudian memperkuat pengalaman subjektif yang keliru, menciptakan sensasi berlebihan dan distorsi realitas — ciri khas dari psikosis.
Gejala Psikotik dalam Sosio-Politik: Candu Kekuasaan
Psikotik adalah kata sifat untuk menggambarkan gejala delusi atau halusinasi. Salah satu penyebabnya adalah kelebihan dopamin yang membuat otak ‘mengisi kekosongan’ dengan persepsi palsu; atau sensasi dari stimulus netral dianggap sebagai suatu tujuan yang utama. Dalam jurnal ilmiah tahun 2023, berjudul ‘On power and its corrupting effects: the effects of power on human behavior and the limits of accountability systems‘ (Tentang kekuasaan dan dampak koruptifnya: efek kekuasaan terhadap perilaku manusia dan keterbatasan sistem yang berakuntabilitas), karya Tobore Onojighofia Tobore, mengemukakan;
Terdapat bukti adanya kecanduan terhadap kekuasaan yang berasal dari pencitraan dan ketenaran. Efek kecanduan pada pemegang kekuasaan mendorong kebutuhan untuk terlibat dalam upaya mempertahankan dan mengakumulasi kekuasaan. Penuaan, iri hati, dan ketakutan, baik yang disadari maupun tidak disadari, akan pembalasan atas tindakan sebelumnya dapat berkontribusi pada sifat kecanduan kekuasaan. Upaya untuk mempertahankan kekuasaan terus-menerus memainkan peran kunci dalam praktik nepotisme, perebutan faksi oleh elit yang berkuasa, kronisme, dan suksesi dinasti.
Gangguan penyalahgunaan kekuasaan telah disebut sebagai kondisi neuropsikiatri yang terkait dengan perilaku adiktif pemegang kekuasaan. Berbagai argumen telah dikemukakan tentang hubungan antara kecanduan kekuasaan dan perubahan dopaminergik. Memang, perubahan dalam sistem dopaminergik telah dikaitkan dengan kecanduan narkoba, dan penelitian pada hewan menunjukkan bahwa status dominasi memodulasi aktivitas jalur saraf dopaminergik yang terkait dengan motivasi. Bukti menunjukkan bahwa area otak yang terkait dengan kecanduan, termasuk amigdala, dan neuron dopaminergik berperan penting dalam merespons sinyal peringkat dan hierarki sosial. Berbagai bukti dari studi hewan menunjukkan bahwa kepadatan dan ketersediaan reseptor dopamin D2/D3 lebih tinggi di ganglia basal, termasuk nukleus akumbens, pada hewan dengan dominasi sosial yang tinggi dibandingkan dengan hewan yang lebih rendah. Studi hewan menunjukkan bahwa setelah kehilangan status sosial secara paksa, muncul keinginan untuk mendapatkan hak istimewa status, yang menyebabkan gejala seperti depresi yang akan kembali normal ketika status sosial dipulihkan.
Gejala Candu Kekuasaan dari Bekas Presiden, Jokowi
Semua penjelasan diatas yang dikutip dari jurnal Institut Kesehatan Nasional Amerika (National Institute of Health), mencirikan perilaku bekas Presiden Indonesia, Joko Widodo, secara nyata: “Upaya untuk mempertahankan kekuasaan terus-menerus memainkan peran kunci dalam praktik nepotisme, perebutan faksi oleh elit yang berkuasa, kronisme, dan suksesi dinasti.” Fenomena ini terlihat jelas dalam berbagai tindakan dan dinamika politik yang terjadi selama dan setelah masa kepemimpinan Jokowi.
Contoh konkretnya adalah masih banyaknya figur-figur yang dikenal sebagai kroni atau loyalis Jokowi yang tetap menduduki posisi strategis dalam pemerintahan Presiden Prabowo saat ini. Salah satu di antaranya adalah Immanuel Ebenezer, yang menjabat sebagai Wakil Menteri Ketenagakerjaan, dan belakangan ditetapkan sebagai tersangka dalam operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK terkait kasus korupsi.
Selain itu, Jokowi juga sempat diisukan mencoba merebut atau mengintervensi Partai Demokrat ketika masih menjabat sebagai presiden—sebuah langkah yang dipandang sebagai upaya untuk memperluas pengaruh politik lintas partai.
Praktik nepotisme juga tampak dari posisi politik keluarganya. Menantunya, Bobby Nasution, yang saat ini menjabat sebagai Gubernur Sumatera Utara, dikabarkan tengah terlibat dalam kasus korupsi proyek pembangunan jalan di Kota Medan bersama sejumlah bawahannya.
Yang paling kontroversial adalah keberhasilan Jokowi meloloskan anak kandungnya, Gibran Rakabuming Raka, sebagai Wakil Presiden dalam Pilpres 2024. Pencalonan ini dikukuhkan melalui putusan Mahkamah Konstitusi yang dipimpin oleh Anwar Usman—adik ipar Jokowi sekaligus paman Gibran—yang saat itu menjabat sebagai Ketua MK. Keputusan tersebut memicu kritik luas karena dinilai sarat konflik kepentingan dan memperlihatkan secara gamblang praktik suksesi dinasti politik.

Dengan demikian, yang menjadi akar dari gejala psikosis bukanlah zat seperti ganja, melainkan ketidakseimbangan sistem dopamin yang mengatur persepsi, motivasi, dan penilaian realitas. Pemahaman yang lebih dalam mengenai peran dopamin dapat membantu kita meninjau ulang paradigma lama tentang psikoaktif dan kesehatan mental—bahwa yang perlu diwaspadai bukanlah zatnya, melainkan ketidakseimbangan biologis dan sosial yang melingkupinya.
Referensi: -Convergence of Cannabis and Psychosis on the Dopamine System, JAMA (2025) -What links cannabis use and psychosis? Researchers point to brain's dopamine system, Science Daily (2025) -Cannabis-induced altered states of consciousness are associated with specific dynamic brain connectivity states (2019) -Neural Circuitry of Salience and Reward Processing in Psychosis (2023) -On power and its corrupting effects: the effects of power on human behavior and the limits of accountability systems -Jokowi Benarkan Wamenaker Noel Ebenezer Bekas Relawannya, Begini Responsnya Terkait OTT KPK (Republika) -Penjelasan AHY Soal Orang Dekat Jokowi Ingin Rebut Posisi Ketua Umum Demokrat (TEMPO) -Terlapor Kasus Ijazah Jokowi 12 Orang: Roy Suryo hingga Abraham Samad (MetroTV News) -Daftar Orang Dekat Bobby Nasution yang Diperiksa KPK Terkait Kasus Korupsi Jalan di Sumut (Waspada) -Anwar Usman Paman Gibran Angkat Bicara soal Isu Pemakzulan (Okezone) -Systemic Corruption: From Jokowi’s 2024 OCCRP Nomination to Narrow-Minded Nationalism (Modern Diplomacy)