Baca Ganja – Darurat plastik adalah wujud nyata saat ini, yang mana plastik telah meracuni lautan dan seluruh ekosistem kehidupan.
Legenda Samudramantana seperti menggambarkan apa yang terjadi saat ini, yang mengisahkan beberapa dewa dan raksasa ‘mengaduk-aduk’ lautan demi mendapatkan Amerta; air kehidupan yang membuat makhluk dapat hidup abadi, dan akhirnya Amerta itu memunculkan racun Halahala yang memusnahkan seluruh isi alam semesta.
Seluruh umat manusia saat ini seperti sibuk untuk mendapatkan ‘amerta’ itu, dan kesibukan itu tidak di sadari memunculkan racun Halahala yang disebut plastik. Plastik kini telah menjadi racun terhadap air kehidupan itu sendiri, meracuni sungai dan lautan dengan penggunaan plastik yang berlebihan karena kepraktisannya dalam membantu aktivitas manusia sehari-hari.
Ini dibuktikan dalam film dokumenter dari Watchdoc Image yang mengdokumentasikan dampak terhadap tiga sungai besar di Pulau Jawa; Sungai Brantas, Citarum, dan Bengawan Solo akibat limbah industri dan rumah tangga yang banyak mengandung mikroplastik — bagian potongan kecil / fragmen plastik. Mikroplastik yang meracuni air sungai juga meracuni kehidupan dalam ekosistem sungai tersebut, terutama ikan-ikan yang akhirnya dikonsumsi oleh manusia.
Plastik Meracuni Lautan
Bahkan saat ini plastik telah meracuni lautan samudra. Penelitian memprediksi di tahun 2050 bahwa jumlah mikroplastik lebih banyak jumlahnya daripada ikan di lautan jika dihitung dari beratnya. Studi analisis yang dilakukan pada tahun 2015 ini, memprediksi bahwa plastik sudah mencemari lautan sebanyak 150 juta ton dan setiap tahunnya bertambah setidaknya sekitar 9,1 juta ton atau melonjak sekitar 5 persen tiap tahunnya.
Dalam film dokumentasi A Plastic Ocean, tercatat bahwa Amerika Serikat sendiri membuang 38 juta sampah botol plastik setiap tahunnya atau sebanyak 2 juta ton plastik yang dibuang ke pembuangan sampah AS; dan itu hanya sampah air botol plastik. Plastik banyak digunakan karena sifat tahan lamanya, tetapi plastik juga sangat buruk karena sifat tahan lamanya. Ini dikarenakan plastik sangat sulit untuk terurai yang membutuhkan waktu 450 – 1.000 tahun.
Hampir semua bahan yang terbuat dari bagian plastik tetap berada di bumi yang menjadi bentuk kecil plastik yang disebut mikroplastik. Lebih dari 80% plastik di lautan berasal dari plastik di daratan. Meskipun masyarakat yang tidak hidup di dekat laut, namun sampah plastik menemukan jalannya menuju lautan. Plastik yang dibuang oleh masyarakat atau industri terbawa mengikuti sistem aliran sungai dan akhirnya sampah plastik bocor ke lautan samudra.
Mengganggu Ekosistem Kehidupan

Sekitar 8 juta ton plastik dibuang ke lautan samudra setiap tahunnya dan lebih dari 50% sampah puing-puing lautan termasuk sampah plastik tenggelam ke dasar lautan. Plastik yang berada di lautan samudra sebagai sumber utama air di bumi akan menyebar ke seluruh dunia mengikuti arah angin planet bumi. Seiring dengan waktu, plastik di lautan mengurai pecah berubah menjadi mikroplastik yang dibantu dengan sinar ultraviolet matahari, aksi ombak laut, dan garam.
Mikroplastik yang tersebar di laut samudra kemudian dikonsumsi oleh ikan yang hidup dalam ekosistem laut. Hasil penelitian Scientific Reports yang menguji 64 ekor ikan dari pasar California, Amerika Serikat, dan 74 ekor ikan dari pasar Makassar, Indonesia, menemukan bahwa seperempat ikan di kedua kelompok sampel ini memiliki sampah plastik atau serat plastik dalam sistem pencernaan mereka.
Dari hasil penelitian ditemukan variasi jenis sampah buatan manusia (antropogenik) menurut wilayahnya. Di Indonesia, 100% sampah yang ditemukan pada ikan yang terkontaminasi adalah mikroplastik. Sedangkan 80% sampah pada ikan yang terkontaminasi di pasar California dibentuk dari serat puing-puing antropogenik. Ini tidak mengejutkan jika mengingat kedua negara tersebut berada di peringkat 20 besar untuk limbah antropogenik yang salah dikelola — Indonesia peringkat ke-2 dan Amerika Serikat peringkat ke-20.
Darurat Plastik
Penelitian yang dilakukan di Indonesia menemukan bahwa kotoran manusia dari berbagai profesi; mulai dari seniman hingga kepala daerah, mengandung 100% zat mikroplastik. Hasil riset yang di dokumentasi dalam film berjudul Pulau Plastik ini menunjukkan dengan jelas bahwa saat ini manusia bukan hanya menggunakan plastik, tetapi juga memakannya.
Mikroplastik yang masuk ke tubuh manusia melalui konsumsi ikan-ikan yang terkontaminasi mikroplastik, ataupun dari penggunaan plastik sehari-hari; seperti menggunakan bungkusan plastik untuk makanan atau minuman hangat yang dapat mengurai zat mikroplastik, dapat mengganggu sistem pencernaan manusia dan berdampak terhadap kesehatan. Bahkan banyak ditemukan ikan paus yang mengalami malnutrisi akibat terkontaminasi sampah plastik di lautan.
Dalam artikel yang di publikasi oleh Reuters, diperkirakan bahwa dalam waktu satu dekade (10 tahun) manusia mengonsumsi mikroplastik sebanyak 2,5 kilogram. Dalam seumur hidupnya, diperkirakan rata-rata manusia mengonsumsi mikroplastik sebanyak 20 kilogram. Melihat bagaimana manusia menggunakan plastik secara berlebihan, tidak mengejutkan bahwa akhirnya alam mengembalikan plastik kepada manusia untuk dikonsumsi.
Selain itu, di tengah pandemi Covid-19 penggunaan rapid test antigen kits berbahan plastik juga telah mengotori lautan. Dilansir oleh Detik.com, sampah medis tersebut berserakan di sepanjang pantai Selat Bali. Sampah medis bekas rapid test antigen mengambang di sepanjang pantai di depan Terminal Sritanjung, Banyuwangi, pada hari Minggu (30/1/22) lalu.
Keadaan saat ini sangat menggambarkan jelas darurat plastik yang meracuni lautan dan ekosistem kehidupan. Saatnya kita menumbuhkan kesadaran untuk mengurangi penggunaan plastik sekalipun plastik sangat praktis digunakan, karena setiap sampah plastik yang kita buang akhirnya akan berujung ke laut samudra dan meracuni lautan sebagai sumber protein utama manusia.