Baca Ganja – Kasus penggunaan ganja untuk medis menjadi perbincangan hangat. Akankah Indonesia mulai memasuki babak baru pemanfaatan ganja? Atau hanya sekadar omongan diskusi semata seperti biasanya?
Dalam sebuah diskusi di kanal Youtube voidotid (18 Juni 2020), yang berjudul “Tentang Pemenjaraan Pengguna Ganja Medis”, sepertinya akan ada babak baru pemanfaatan ganja. Berikut ini adalah diskusi lengkapnya:
Babak Baru Pemanfaatan Ganja
Dalam diskusi diatas, ada beberapa penjelasan menarik dari narasumber yang mencuri perhatian. Mungkin saja ini langkah awal yang menjadi babak baru pemanfaatan ganja setelah dulunya termakan janji.
Diantaranya yaitu ketika Anggota Komisi III DPR RI, Hinca Pandjaitan, mengatakan bahwa dari sisi legislatif, salah satu dari 50 Rancangan Undang-Undang (RUU) yang diutamakan terdapat revisi UU tentang narkotika.
Hal tersebut juga diakui oleh Direktur Hukum Deputi Bidang Hukum dan Kerjasama BNN, Susanto. Beliau mengabarkan bahwa sudah menandatangani naskah RUU revisi narkotika tersebut pada tanggal 15 Juni 2020 untuk dimasukkan ke Kementrian Sekretariat Negara (Setneg).
Tim revisi yang menandatangani RUU tersebut diantaranya adalah instansi Kementrian Kesehatan, Kepolisian, Kejaksaan, Kementrian Sosial, Kementrian Pertahanan, dan BNN sendiri. Jika RUU sudah diproses oleh Setneg, setelah itu baru didorong ke DPR untuk dinaikkan.
Ini artinya jika proses RUU sudah selesai, maka Undang-undang narkotika yang berlaku saat ini, yaitu Undang-undang No. 35 Tahun 2009 akan mengalami perubahan. Hal ini mungkin menjadi pendorong langkah awal Indonesia terhadap ganja medis.
Adapun Advokat Ganja, Tomi Singgih Gumilang, mengatakan bahwa bukti di lapangan pembeli ganja membelinya dengan alasan medis, untuk meredekan gejala-gejala psikis seperti bipolar dan mood swing. Beliau juga mengatakan bahwa pembeli ganja berani membeli bukan atas dasar ingin melawan hukum, melainkan berdasarkan informasi literatur.
Tomi juga meyakini jika seandainya ganja dikelola negara dengan benar, maka akan menambah devisa negara. Selain itu, jika ganja dijual di pasar terang, secara otomatis pasar gelap akan berangsur turun.
Mungkin pemakaian ganja meningkat diawal, namun lama-kelamaan setiap orang memiliki pertimbangan, apakah harus terus mengkonsumsi ganja atau mengkombinasikannya dengan tanaman herbal lainnya. Lagipula, ganja diteliti tidak menyebabkan ketergantungan fisik (seperti zat methamphetamine yang terdapat di sabu-sabu).
Untuk Undang-undang narkotika yang berlaku saat ini, diakui oleh Direktur Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat, Afif Qoyim, peraturannya kacau balau. Selain itu, penegaknya pun juga kacau balau.
Kapan Riset Dilakukan?
Hinca Pandjaitan dalam diskusi menyerukan untuk melakukan riset mengenai ganja. Beliau mengatakan wasit paling adil adalah dengan melakukan riset.
Beliau pun menghimbau agar dana untuk acara seperti memperingati Hari Anti Narkotika Internasional yang jatuh pada tanggal 26 Juni 2020 mendatang, lebih baik digunakan untuk riset daripada harus membayar acara di hotel berbintang, untuk menghormati dana tersebut.
Aktor Jefri Nichol pun mengakui bahwa (dulu) ia menggunakan ganja untuk membantu tidur, ia mengetahui informasi tentang ganja melalui literatur yang ia baca. Tomi bahkan mengatakan bahwa yang berbahaya dari ganja adalah peraturannya, pemenjaraannya yang lebih berbahaya daripada ganja itu sendiri.
Jika dari sudut pandang pribadi mengenai diskusi ini, sebenarnya ada sedikit pengharapan terhadap riset ganja. Lagipula, dulu BNN pernah berjanji untuk bekerjasama dengan Kementrian Kesehatan untuk melakukan riset di tahun 2017 saat BNN diketuai oleh Budi Waseso.
Namun, sampai sekarang di tahun 2020, janji tersebut perlahan lenyap dimakan waktu (bisa baca disini). Mungkin ini akan menjadi waktu yang tepat untuk melakukan penelitian mengenai ganja.
Semoga Indonesia dapat melakukan riset ganja untuk dimanfaatkan berdasarkan ilmu pengetahuan, untuk mendorong kesejahteraan hidup seluruh masyarakat Indonesia.
“Demokrasi adalah mendengar kemauan rakyat dan melaksanakannya” – Joko Widodo.