Baca Ganja – Kritik terhadap kondisi politik di Indonesia saat ini yang mirip dengan film satir-komedi gelap berjudul Idiocracy (2006).

Pengantar
Kondisi masyarakat Indonesia saat ini, mungkin persis dengan masyarakat dalam film Idiocracy, yang mengisahkan kondisi masyarakat AS di 500 tahun mendatang yang mengalami dumbing down (pembodohan) ekstrem. Meskipun film ini tayang pertama kali di tahun 2006, tapi kisah absurd dan satirnya cukup relevan di saat ini. Film ini mengisahkan kondisi masyarakat dalam demokrasi dengan intelektual dangkal, yang akhirnya dipimpin oleh Presiden yang merupakan bekas aktor film dewasa, bernama Camacho.
Meskipun penuh keabsurdan, namun kisah jenakanya akan membuat penonton terhibur, dan mungkin tersadar bahwa keadaan yang mirip juga terjadi di Indonesia dengan bentuk absurd lain. Film ini adalah bentuk satir terhadap politik sebagai panggung hiburan (entertainment), dan kultus selebritas yang pada akhirnya membawa masyarakat ke jurang kebodohan. Konten dangkal menyebar dengan cepat, sains dan intelektualitas dikesampingkan; yang tersisa di masyarakat hanyalah sifat konsumeris ekstrem.
Selain itu, kebijakan publik dibuat hanya untuk menguntungkan korporasi, yang kemudian produk-produknya mengontrol hampir seluruh aspek kehidupan yang tidak disadari oleh masyarakatnya. Lucunya, anggota Majelis Kongres dan Kabinetnya bertindak seperti penonton acara reality show, di mana Lembaga Perwakilan Rakyat hanya menjadi arena sorak-sorai, tanpa adanya proses deliberatif—pengambilan keputusan secara musyawarah, inklusif, dan pertukaran pandangan secara rasional—sama sekali.
Kebijakan yang hanya menguntungkan korporasi, akhirnya membawa bencana pada krisis lingkungan. Film ini sangat disarankan untuk ditonton sebagai hiburan, dan sebagai imajinasi bagaimana jikalau kita yang ditempatkan dalam lingkungan masyarakat dengan IQ 78 itu. Apakah kita masih dapat tertawa seperti kita menempatkan diri sebagai penonton? Atau mungkin tidak tertawa sama sekali, karena sudah terbiasa dengan kondisi yang sama absurdnya?
Politik Idiot-Democracy di Indonesia
Kita dapat melihat sejumlah keabsurdan kondisi sosial-politik dalam film tersebut, persis terjadi di Indonesia saat ini. Kondisi politik semacam ini, dapat disebut sebagai idiot-democracy, yang merupakan kepanjangan dari judul film Idiocracy. Mulai dari masyarakat yang mengalami pembodohan ekstrem, politik yang hanya berdasarkan popularitas/elektabilitas lewat jasa hasil survey, media, ataupun algoritma; hingga pada akhirnya Indonesia memiliki Wakil Presiden yang diteliti tidak memiliki Ijazah SMA ataupun tidak lulus Sekolah Menengah Atas, yaitu Gibran Rakabuming—anak kandung dari terduga si pemilik Ijazah Palsu, Jokowi.
Selain keadaan sosio-politik, krisis lingkungannya juga kurang-lebih sama. Polusi sampah tidak teratasi, kualitas tanah memburuk, dan kebijakan dibuat bukan untuk melindungi alam yang tak dapat berbicara, melainkan untuk kepentingan korporasi. Bukti konkret dari krisis ini dapat dilihat dari bencana banjir yang melanda pulau Sumatera (Aceh, Sumut, dan Sumbar) yang diakibatkan bukan hanya oleh faktor iklim, tapi juga oleh penebangan hutan atau deforestasi besar-besaran di pulau Sumatera.
Sejumlah bukti deforestasi di pulau Sumatera Utara dapat dilihat dalam dokumentasi tim jurnalis TEMPO di awal tahun 2025 dalam kanal Youtube edisi Dines Lingkungan. Selain itu, data statistik di lapangan dari tim peneliti Auriga Nusantara, menunjukkan bahwa deforestasi di pulau Sumatera meningkat sebanyak hampir 2,75 kali pada tahun 2024, dan menjadi pulau dengan peningkatan deforestasi tertinggi di Indonesia—saat pulau lain mengalami penurunan deforestasi, kecuali Kalimantan (Simontini.id).

Aparat Penegak Hukum Melanggar Perintah Konstitusi
Baik dalam film Idiocracy maupun dalam realitas yang terjadi di Indonesia, kita dapat menemukan bahwa aktivitas sosial-politik dalam masyarakat dengan keadaan lingkungannya bersifat interdependensi—saling beketergantungan. Jika melihat situasi riil Indonesia saat ini, Bacaganja melihat deforestasi di sejumlah hutan Indonesia akan terus berlangsung jika Presiden Prabowo tidak mengambil sikap tegas memecat Menteri Kehutanan—yang telah dikritik dalam esai sebelumnya.
Belum lagi, para aktivis lingkungan di sejumlah daerah sangat rentan dikriminalisasi. Pada tanggal 27 November 2025, laporan TEMPO mengabarkan kasus penangkapan dua aktivis lingkungan di Semarang yang mendampingi kelompok petani. Padahal, Mahkamah Konstitusi (MK, Agustus 2025) telah menegaskan berlakunya perlindungan hukum bagi aktivis lingkungan. Peristiwa ini jelas menunjukkan bahwa kepolisian yang bersangkutan telah melanggar perintah konstitusi.
Jika masyarakat sipil berhenti mengkritik, dan menjadi apatis ataupun permisif dengan keadaan ini, maka inilah yang diinginkan oleh sistem kekuasaan saat ini yang tengah mengungkung sosio-politik-ekologis di Indonesia. Saat ini, sistem tersebut telah menjadi lapisan ozon (O3) di atmosfer sosial-politik, seperti yang dijelaskan dalam film dokumenter Dirty Vote II (O3). Sudah seharusnya kebijakan yang dibuat oleh pemerintah berdasarkan ide non-dominasi, sebab seluruh gagasan yang tujuannya untuk menguasai, hanya akan menyuburkan pertikaian.
Referensi tambahan: -Skor 78, Indonesia berada di papan bawah ranking IQ dunia (CNA.id, 2024) -Meme Patrick dari Gibran Balas Netizen soal Komentar Prabowo, (Detik.com, 2023) -Gibran End Game: Wapres tak Lulus SMA, (Sianipar, R. H., 2025) -Indonesia labeled ‘Fossil of the Day’ for echoing industry talking points at COP30. (Mongabay, November 2025)