Baca Ganja – Merdeka dalam ketidakadilan. Mungkin itulah kalimat kontradiktif yang tepat untuk menggambarkan keadaan Indonesia setelah 80 tahun merdeka.
Pengantar

Menjelang Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Republik Indonesia, pengibaran bendera Merah Putih kali ini menjadi sorotan karena dibarengi dengan pengibaran bendera kartun ‘One Piece’. Pengibaran bendera ‘One Piece’ yang dilakukan masyarakat adalah sebuah simbol dari bentuk semangat yang terkandung dalam alur cerita fiksi tersebut; yaitu melawan ketidakadilan dan penindasan yang dilakukan elit pemerintah. Reaksi pemerintah pun ambigu; meskipun Presiden Prabowo mengizinkan sebagai bentuk ekspresi dalam ruang kreativitas, tetapi sebelumnya sudah ada warga yang rumahnya didatangi oleh aparat karena mengibarkan bendera ‘One Piece’.
Pernyataan Presiden sekaligus untuk menutupi kedangkalan cara berpikir menterinya, salah satunya Natalius Pigai, Menteri HAM yang mengatakan pengibaran bendera ‘One Piece’ sebagai bentuk makar. Padahal selama bendera Merah Putih ditempatkan pada posisi tertingginya, dan ukuran benderanya lebih besar daripada jenis bendera lain di tiang bendera, itu sudah melambangkan kehormatan tertinggi dan kebesaran Merah Putih dengan sendirinya yang mudah dipahami oleh akal sehat.
Fenomena pengibaran bendera ‘One Piece’ ini merupakan bentuk ekspresi masyarakat akan ketidakadilan atau ketimpangan hukum yang terjadi di Indonesia, antara elit penguasa dan warga negara. Bahkan kalimat pelesetan UUD (akronim dari Undang-Undang Dasar) menjadi ‘ujung-ujung duit’ tidak asing lagi di telinga masyarakat, seperti sudah membudaya hingga mempengaruhi cara pikir masyarakat. Pada akhirnya praktek hukum yang transaksional (jual-beli) pun dianggap sebagai pembenaran. Padahal hukum ideal seharusnya sesuai dengan kebenaran dan keadilan yang dapat dipahami melalui akal budi manusia (menurut Socrates), bukan materi.
Esai ini selanjutnya akan coba membahas lebih dalam apa yang menyebabkan ketidakadilan atau ketimpangan terjadi di Indonesia. Mengapa hal demikian masih terjadi meskipun katanya sudah merdeka? Atau sebenarnya memang sudah sewajarnya terjadi karena telah menjadi adat dan budaya?
Indonesia merdeka bukan tujuan akhir kita. Indonesia merdeka hanya syarat untuk bisa mencapai kebahagiaan dan kemakmuran rakyat. Indonesia merdeka tidak ada gunanya bagi kita, apabila kita tidak sanggup untuk mempergunakannya memenuhi cita-cita rakyat kita: hidup bahagia dan makmur dalam pengertian jasmani maupun rohani – Bung Hatta
Merdeka dalam Ketidakadilan
Proklamasi tahun 1945 dan pengakuan dunia internasional (lewat PBB) atas Indonesia tahun 1950 merupakan bukti sejarah dan legitimasi Indonesia telah merdeka. Tetapi itu tampaknya hanya formalitas belaka, karena pada nyatanya hingga saat ini masyarakat masih terjebak dalam sistem, kebijakan, atau struktur sosial yang tidak adil.
Seringkali dalam persengketaan lahan antara masyarakat dengan korporasi, yang diuntungkan oleh aparat penegak hukum adalah pihak korporasi. Salah satunya yang mengalami ketidakadilan ini adalah warga Sukahaji di Bandung. Akhir bulan Juli lalu, ada 7 warga Sukahaji yang dijadikan sebagai tersangka oleh kepolisian daerah Jawa Barat. Bahkan sebelumnya di bulan April, rumah warga Sukahaji yang padat kawasan penduduk terbakar. Kebakaran ini bertepatan di wilayah yang dipersengketakan oleh korporasi, dengan dugaan untuk menggusur paksa warga setempat.

Penderitaan karena ruang hidupnya dirampas bukan hanya dirasakan oleh warga Sukahaji, tetapi juga masyarakat di sekitar Danau Toba, Sumatera Utara, yang terus mendesak perusahaan industri bubur kertas PT Toba Pulp Lestari untuk tutup. Karena telah memicu kerusakan lingkungan dan konflik sosial.
Praktek-praktek hukum dalam kehidupan antar sesama warganegara juga terasa timpang. Kebanyakan hukum pidana menjerat rakyat jelata yang kurang mampu dalam ekonomi dan pendidikan. Sedangkan praktek hukum seperti itu tidak berlaku untuk para elit atau koruptor. Contohnya, akhir bulan Juli lalu warga kota Medan dihukum 1,5 tahun (atau 18 bulan) penjara karena mencuri sendal majikannya seharga 15 juta rupiah; sedangkan baru-baru ini media memberitakan pegawai instansi pemerintah dipidana 2 tahun (atau 24 bulan) penjara karena melakukan praktek korupsi mencapai ratusan juta rupiah.

Masih banyak lagi kasus ketimpangan hukum serupa ditemukan hampir di seluruh wilayah Indonesia dengan motif yang tidak jauh-jauh dari kepentingan ekonomi atau materi.
Hukum yang Terbelenggu oleh Materialisme
Kendati Indonesia telah merdeka dan rakyatnya dapat secara bebas menentukan arah dan membentuk kebijakannya (undang-undang) sendiri. Tetapi nyatanya produk hukum atau kebijakan yang dibuat oleh perwakilan masyarakat, yaitu pemerintah dan segenap turunannya, tidak berpihak kepada kepentingan masyarakat dan lebih condong kepada golongan penguasa atau elit rakus yang ingin mendapatkan akumulasi profit dengan memonopoli lewat kebijakan.
Ketika pemerintah (yang memiliki akses hukum) dan pihak korporasi melakukan monopoli di bidangnya masing-masing, kemudian saling bekerjasama. Maka lahirlah suatu benih baru yang disebut oligarki. Sebutan lain untuk oligarki adalah peng-peng, singkatan dari ‘pengusaha merangkap penguasa’ atau sebaliknya, yang disematkan oleh alm. Rizal Ramli. Pernyataan ini sebanding dengan penelitian dari ICW (Indonesia Corruption Watch) yang menemukan sebanyak 61% (persen) anggota DPR periode 2024-2029 merupakan politisi pebisnis.
Sejauh ini dapat kita lihat bahwa hukum di Indonesia tidak mungkin dapat ditegakkan seadil-adilnya karena terbelenggu oleh materialisme. Mental membudak terhadap materi sepertinya sudah menjangkiti mental kolektif masyarakat Indonesia. Seandainya saja Tan Malaka masih hidup hingga hari ini, saya yakin beliau akan menyangkal pendapatnya sendiri terkait pembelaannya terhadap “materialisme” seperti yang ditulis dalam buku Madilog, Bab II, yang membahas filsafat:
Biasanya musuh proletar, menerjemahkan dan menyamarkan “materialisme” itu sebagai ilmu yang berdasar atas daya upaya mencari kesenangan hidup tak terbatas; makan sampai muntah, minum sampai mabuk, kawin dan cerai sesukanya saja. Sedangkan idealisme itu diterjemahkan dan dijunjung tinggi sebagai satu ilmu berdasarkan kesucian yang paling tinggi, lebih memperhatikan berpikir dari pada makan, dan kebudayaan yang sampai menjaduhi kaum ibu seperti seorang santri, resi. Dalam keadaan yang benar, dalam kehidupan mereka, kita tidak sekali dua kali berjumpa, dengan seorang yang memangku paham idealis berlaku sebaliknya dari persangkaan itu, sedangkan dalam kalangan materialis banyak kita dapati orang hidup dengan segala sederhana dan seperti suami dan bapak yang setia.
Saya tidak mengomentari pembelaan beliau terhadap kaum proletar, dan sepakat dengan sinisme-nya terhadap idealisme yang masih relevan sampai saat ini. Tetapi mengomentari pernyataan yang mengatakan…”dalam kalangan materialis banyak kita dapati orang hidup dengan segala sederhana dan seperti suami dan bapak yang setia”.
Sepertinya di zaman sekarang ini, untuk menemukan kaum materialis semacam itu ibarat mencari jarum di tumpukan jerami. Atau bisa jadi Tan Malaka semasa hidupnya, menganggap para kepala daerah Hindia Belanda yang koruptif itu bukan termasuk kaum materialis? Dan sekadar menyematkan gagasan ‘materialis’ bagi kaum proletar untuk memberikan batas pemisahan identitas yang jelas dengan kalangan santri yang dianggap ‘idealis’? Lebih penting membahas ide materialisme Tan Malaka yang belum selesai daripada menduga-duga jawaban dari pertanyaan itu.
Kritik atas Materialisme
Di bagian sub-judul ini, pembahasan masih tidak terlepas dari sosok Tan Malaka. Karena memang beliau adalah yang pertama menulis tentang filsafat materialisme di Indonesia dalam bukunya yang dikenal banyak orang. Maka dari itu, kita akan mulai dari isi bukunya berjudul Madilog.
Perlu diketahui bahwa pemikiran Tan Malaka sangat dipengaruhi oleh pemikiran Marx dan Engels yang merupakan bapak filsafat materialisme-dialektika, dan komunisme. Bahkan judul bukunya merupakan singkatan dari filsafat tersebut (Materialisme-Dialektika dan Logika).
Dalam isi bukunya di bagian II yang membahas bagian filsafat paragraf ke-empat, Tan Malaka berpendapat bahwa…”Kaum Idealis ‘umumnya’ memihak pada kaum yang berpunya dan berkuasa, sedangkan kaum materialis berpihak pada proletar dan kaum tertindas”. Tan Malaka juga memisahkan filsafat dengan perilaku seseorang, seperti yang ditulisnya di paragraf ke-tujuh:
Yang mengatakan pikiran lebih dahulu, itulah pengikut idealisme, itulah yang idealis. Yang mengikut materialisme, itulah yang materialis. Hidup segala sederhana, atau mau segala lebih dengan tiada memperdulikan kesehatan diri sendiri, dan kebaikan buat masyarakat itu bergantung kepada watak masyarakat, dan didikan masing-masing orang.
Pesan yang disampaikan dalam kalimat ini agaknya ambigu. Karena sejauh pemahaman kita, gunanya filsafat bukan hanya untuk dipikirkan namun juga sebisanya dipraktekkan dalam kehidupan. Yang artinya, setiap filsafat yang dipahami seseorang, tentu akan mempengaruhi cara berpikir dan tingkah lakunya.
Dari kumpulan tulisan Tan Malaka mengenai ‘materialisme’, dapat kita tangkap bahwa beliau konsisten menekankan ide materialisme yang berangkat dari ruang filsafat saja. Dan di satu sisi, menolak mentah-mentah ide materialisme yang dapat mempengaruhi psikologi ataupun psiko-sosial. Dengan anggapan kritik semacam itu hanyalah sebuah bentuk kebencian belaka.
Padahal tidak sepenuhnya demikian, karena Karl Marx sendiri juga mengkritik filsafat materialisme dari Feurbach yang dianggapnya ‘pasif…karena melihat manusia hanya sebagai produk alam, yang seharusnya bergerak dinamis’. Dari kritik inilah kemudian Marx-Engels melakukan pembaharuan ide materialisme menjadi materialisme-dialektika yang bersifat lebih aktif.
Perkembangan Filsafat Materialisme
Filsafat materialisme pada mulanya tidak berkaitan dengan psikologi. Jejak awal gagasannya dapat ditelusuri dari zaman Yunani Kuno oleh filsuf bernama Demokritus (hidup sekitar tahun 400 SM) yang mengatakan, segala sesuatu di dunia ini tersusun dari atom dan ruang kosong (void). Pernyataan ini terbukti secara ilmiah pada akhirnya ketika manusia dapat melihat langsung bagian materi atom dengan bantuan mikroskop alat laboratorium.
Filsafat atomis Demokritus selanjutnya menjadi landasan dari filsafat materialisme dalam perkembangannya, yang menekankan hanya dunia material yang nyata. Pernyataan ini mendapat dukungan dari sains karena mengandung dasar kebenaran ilmiah, yaitu realitas fisik dapat diamati dan diukur. Sebaliknya, keberadaan jiwa atau roh tidak dapat diverifikasi secara konsisten keberadaannya.
Pembaharuan filsafat materialisme yang menjadi fondasi bagi materialisme modern adalah Marx-Engels, terutama dalam konteks sosial dan ekonomi. Bahkan tidak sedikit orang yang menganggap karya tulis Marx-Engels sebagai kitab suci. Namun sebenarnya ada beberapa sedikit kritik terhadap gagasan tersebut yang tidak akan melunturkan kualitasnya.
Karl Popper menuding filsafat materialisme-dialektika tidak bersifat falsifiable (yang bisa dibuktikan salah); sehingga lebih cocok dianggap sebagai ideologi daripada teori ilmiah. Kritik kedua adalah, Marx terlalu menekankan determinasi ekonomi sebagai penggerak sejarah tanpa mempertimbangkan aspek budaya atau psikologi. Padahal, psikologi manusia selalu melakukan proses mental ketika dihadapkan dengan materi—baik itu benda fisik atau rangsangan dari lingkungan sekitar. Selalu lebih dulu proses mental itu muncul, kemudian mempengaruhi cara kita berpikir atau mengambil keputusan.
Umumnya, manusia cenderung mengabaikan proses mental yang kompleks di balik persepsi yang terbentuk dan langsung menerima kesan sensorik secara mentah—seolah apa yang diterima indera-sensorik itu otomatis benar tanpa disaring atau dianalisis lebih lanjut. Padahal indera-sensorik manusia dapat berubah sewaktu-waktu dan memanipulasi. Misalnya saat sehat anggur terasa manis, tapi saat sakit terasa masam.
Hubungan Kausalitas Materi dan Psikologi
Manusia yang dengan mudah termanipulasi oleh sensorik-inderawinya sendiri, akan lebih sangat mudah termanipulasi oleh materi yang datang dari luar dirinya. Lapisan manipulasi yang menumpuk ini selanjutnya akan mengendap dalam alam bawah sadar, dan akan mempengaruhi cara berpikir atau pengambilan keputusan invdividu.
Kita bisa lihat beberapa contoh nyata manipulasi sensorik-inderawi dalam kehidupan sehari-hari. Yang pertama dan paling sering ditemukan adalah di dalam dunia konsumerisme sebagai teknik pemasaran. Salah satu cara untuk mendapatkan atensi konsumen adalah dengan memanipulasi lewat iklan yang dapat mempengaruhi emosi atau proses mental seseorang lewat warna atau suara. Tujuannya adalah agar konsumen lebih dulu terpikat oleh sensorik visual atau audio, bukan pada nilai sesungguhnya dari barang itu.
Pengandaian kedua juga sering terjadi dalam dimensi politik di Indonesia yang disebut pencitraan. Manipulasi pencitraan politik adalah strategi klasik yang masih dipakai untuk mengendalikan persepsi publik, terutama mereka yang rentan secara pendidikan dan ekonomi. Dengan kemasan simbolik seperti berpakaian sederhana, masuk gorong-gorong, atau blusukan ke kampung, politisi berupaya menciptakan ilusi kedekatan dengan rakyat.
Sementara itu, politik uang bekerja pada level yang lebih material, memanfaatkan kelemahan ekonomi sebagai pintu masuk. Meskipun bentuknya berbeda, keduanya sama-sama menargetkan titik lemah proses mental manusia: kecenderungan menerima kesan sensorik-inderawi tanpa pemikiran kritis. Teknik ini efektif membentuk psikologi kolektif yang jinak, mudah diarahkan, dan pada akhirnya tunduk pada kepentingan segelintir elit.
Hubungan sebab-akibat antara materi dan psikologi juga terbukti secara ilmiah. Para peneliti neurosains di tahun 1970-an menemukan bahwa materi, dalam beberapa bentuk (baik makanan atau benda yang pernah menimbulkan pengalaman emosional), mempengaruhi pelepasan dan aktivitas dopamin di otak. Fungsi hormon dopamin bagi otak adalah membantu dalam menciptakan rasa senang, kepuasan, dan motivasi. Dan satu-satunya materi yang paling menjamin segala tadi adalah uang. Dari sini pepatah itu muncul; uang bukanlah segalanya, tapi segalanya butuh uang.
Baca juga: Sumpah Pemuda: Sejarah Lahirnya Etos Berbangsa
Hasil Produk dari Hukum yang Materialistis
Dari penjelasan sebelumnya dapat kita temukan fakta bahwasannya hubungan kausalitas antara materi dan psikologi cenderung menghasilkan proses mental terkait dengan rasa aman dan rasa senang, yang secara ilmiah dibuktikan melalui pelepasan hormon dopamin di otak. Dengan demikian, maka pembelaan Tan Malaka terhadap “materialisme” bisa jadi tampak naif bila dihadapkan dengan temuan neurosains modern.
Mentalitas dan kesadaran kolektif masyarakat Indonesia tidak terlepas dari sejarah sosial-budayanya. Indonesia mengalami beberapa tahap perubahan, mulai dari pemerintahan bentuk kerajaan, kolonialisme, era kemerdekaan, hingga zaman setelah merdeka. Sistem feodal di zaman kerajaan kuno masih banyak dipraktekkan hingga sekarang. Ini disebabkan karena selama era kolonial Belanda, mentalitas tuan-budak masih dipertahankan untuk memisahkan struktur sosial dari dalam.
Memasuki zaman merdeka, mentalitas feodal itu masih eksis keberadaannya. Kritik terhadap feodalisme yang paling jelas diutarakan oleh Sutan Sjahrir, dalam bukunya berjudul Perjuangan Kita:
Sebabnya yang pertama ialah yang mengendalikan pemerintahan Negara Republik Indonesia bukan orang yang berjiwa kuat. Kebanyakan dari mereka telah terlalu biasa membungkuk serta berlari untuk Jepang atau Belanda, jiwanya bimbang dan nyata tidak sanggup bertindak dan bertanggungjawab.
Setelah Orde Baru yang dipimpin Soeharto menggantikan pemerintahan Soekarno, mental feodalisme itu justru semakin menguat selama 32 tahun pemerintahannya. Pemikiran Tan Malaka serta karya tulisnya dilarang selama rezim Soeharto. Konsekuensinya, paham materialisme yang bersifat filsafat juga sulit untuk diajarkan karena berkaitan dengan paham komunisme. Dan materialisme liar yang tumbuh dari mentalitas budak terhadap materi semakin menjadi-jadi, hingga puncak tertingginya terlihat di rezim Jokowi.
Hingga hari ini masih banyak rakyat jelata dan warga biasa yang merasakan ketidakadilan atau ketimpangan dari masalah yang dihasilkan oleh mentalitas kolektif yang rusak dan penuh manipulasi. Bahkan hari ini, banyak masyarakat yang terpaksa harus berhadapan dengan praktek manipulasi setiap harinya, dan menentukan sikap di tengah keadaan dimana kebijakan negaranya sendiri manipulatif terhadap warganya sendiri.
Sedangkan di sisi lain, meskipun saat ini kursi kepresidenan telah diambil alih oleh Prabowo, tetapi masih banyak ternak-ternak Jokowi di dalam pemerintahannya. Isu terakhir, ada rencana Presiden Prabowo untuk melakukan reshuffle kabinetnya. Tapi banyak media-media utama yang menepis isu tersebut.
Contoh Beberapa Produk Hukumnya
Selama pemerintahan Jokowi, ia membuat kebijakan hukum yang cenderung materiaslistis. Karena berorientasi pada kepentingan ekonomi atau materi di atas nilai kemanusiaan, moral, atau keadilan. Selain itu kebijakannya lebih berpihak pada keuntungan kelompok tertentu (oligarki, korporasi, elit politik) ketimbang kesejahteraan masyarakat luas.
Contoh kebijakan hukum materialistis yang ia buat dan masih berlaku hingga saat ini adalah; UU Cipta Kerja (Omnibus Law) yang disahkan menjadi Perppu UU No. 6 Tahun 2023. UU ini mendapat kritikan karena mempermudah investasi tapi dianggap melemahkan perlindungan buruh dan lingkungan. Kemudian UU Minerba tahun 2020, yang memberi keuntungan besar pada perusahaan tambang besar. Terakhir adalah UU IKN (Ibukota Nusantara) yang banyak mengalihkan sumber daya dan anggaran negara untuk proyek yang tidak penting.
Jika melihat kenyataan kebijakan yang masih berlaku di Indonesia, kita temukan bahwa ketidakadilan di Indonesia ini terjadi bukan hanya karena produk kebijakan hukum materialistis yang sistemik. Tetapi juga mentalitas kolektif masyarakat Indonesia yang cenderung membudak pada materi. Faktor ini bukan hanya disebabkan dari mentalitas warisan, tetapi juga karena fakta sains, yang menunjukkan bahwa materi dapat mempengaruhi aktivitas hormon dopamin di otak yang berkaitan dengan kesenangan.
Inilah Indonesia, bangsa yang merdeka dalam ketidakadilan. Bangsa yang merdeka tanpa jaminan kemerdekaan, karena mentalitas kolektif bangsanya yang dianggap telah merdeka itu nyatanya masih ingin membudak pada materi dan terimplementasikan dalam kebijakannya.
Catatan Kaki: -Klarifikasi Pemuda Tuban yang Kibarkan Bendera One Piece Usai Rumahnya Didatangi Aparat (Tribunnews) -Menteri HAM Natalius Pigai Larang Masyarakat Kibarkan Bendera One Piece (Tempo) -Istana Bolehkan Pengibaran Bendera One Piece, Asalkan.. (Tempo) -Warga Sukahaji Bandung Melawan Korporasi (Instagram @sukahajimelawan) -Seruan Tutup PT Toba Pulp Lestari Meluas, Dipicu Kerusakan Ekologi dan Konflik Sosia (Kompas) -Bukan Koruptor, bukan Pembunuh, Warga Medan Masuk Penjara Karena Sandal (Tribunnews) -Korupsi Pajak Daerah, Pejabat Aceh Barat Cut Nurmaliah Divonis 2 Tahun Penjara (Tribunnews) -Korupsi Dana KUR, Eks Kepala Unit BRI di Lebak Dituntut 2 Tahun Bui (IDNtimes) -Rizal Ramli: Peng-Peng Merajalela di Masa Emas Oligarki Era Jokowi (RMOL.id) -61 Persen Anggota DPR 2024-2029 Merupakan Politisi Pebisnis (ICW) -MADILOG, Bab II, Filsafat (Tan Malaka) -Perjoeangan Kita (Sutan Sjahrir) -Research Progress on the Influence of Materialism and Its Interventions -6 Kebijakan Pemerintahan Jokowi di Akhir Masa Jabatan: UKT, Tapera, Ormas Keagamaan dapat Izin Tambang, Apa Lagi? (Tempo) -Omnibus Law Ciptaker, UU Langganan Kritik Buruh di Era Jokowi