Baca Ganja – Seperti ikan busuk yang dimulai dari kepala, seperti itulah pembusukan legalisasi ganja yang terjadi di Indonesia.
Awal tahun 2023 ini banyak kejutan yang terjadi; mulai dari dunia politik dimana Anies Baswedan sah akan maju Pilpres, hingga dari dunia legalisasi ganja dimana Ibu Musa mempertanyakan kejelasan kepada Lingkar Ganja Nusantara (LGN) tentang rencana pengobatan ganja medis untuk Pika, anak dari Ibu Santi yang melakukan aksi demo bulan Juni 2022 lalu, di Jakarta Car Free Day (CFD).
Lontaran pertanyaan dan pernyataan dari Ibu Musa di postingan Instagram @budhesomplak untuk Dhira ketua LGN mungkin dianggap hal biasa, namun jika dilihat lebih seksama hal ini terjadi karena pembusukan legalisasi ganja di Indonesia sedang berlangsung. Ini juga disebabkan karena ‘nyala api perjuangan’ hanyalah omong kosong; ‘kalian bersabar kami berjuang’.
Namun karena omong kosong LGN itu juga bacaganja diwujudkan sebagai artikel literasi ilmiah ganja berdasarkan kajian riset dunia, dimana setiap orang dapat mengakses tanpa perlu membeli buku Hikayat Pohon Ganja (HPG), yang hanya menerjemahkan kajian riset ilmiah dunia ke dalam teks mentahan Bahasa Indonesia tanpa adanya narasi, bahkan topik pembasahannya dianggap ‘membabi buta’.
Faktor Pembusukan Legalisasi Ganja
Gejala pembusukan legalisasi ganja justru sebenarnya sudah terlihat sejak Ketiga Orang Ibu tengah menggugat MK untuk mencabut ganja dari Golongan I Narkotika. Dalam artikel yang di publikasi bacaganja tanggal 18 September 2021, berjudul ‘Satu Dekade Perjuangan Ganja dan Kondisi Sosial Bangsa’, sudah terlihat sikap LGN sebagai Gerakan Legalisasi Ganja Tertua tidak mewakilkan asas kepentingan masyarakat.
Sebaliknya sikap LGN justru terlihat cenderung mempromosikan kesiapan untuk bekerjasama dengan Industri Farmasi. Padahal Industri Farmasi saat ini tengah mendapatkan kritikan terutama karena pencapaian akumulasi kapital yang berlebihan di tengah pandemi.
Kepentingan LGN: Dilirik Industri farmasi atau Memperjuangkan Kondisi Pika?
Bacaganja tidak anti-kapital, namun sekurang-kurangnya memahami apa itu kapitai dari sudut pandang teori ekonomi Marxis; yang poinnya adalah kepentingan utama kapital itu adalah mencapai akumulasi setinggi-tingginya tanpa mempertimbangkan ekologi dan humanity (kemanusiaan) yang jelas jauh dari esensi dan pengetahuan (wisdom) dari ganja.
Ketidakselarasan ini akhirnya menimbulkan ketidakpastian yang akhirnya dirasakan oleh Ibu Musa. Hal ini terlihat wajar jika langkah dan sikap Gerakan LGN yang kosong tapi nyaring akhirnya dipertanyakan oleh Ibu Musa. Jika memang LGN dari awal berniat membantu pengobatan Pika, seharusnya dari awal mengambil langkah mencari dan bekerjasama dengan Klinik Thailand yang dapat membantu memfasilitasi keadaan Pika dan teman-teman.
Bacaganja juga sempat langsung menghubungi nomor Ibu Santi, orangtua dari Pika yang di dapat dari Voice of Cannabis Indonesia selang beberapa hari setelah aksi demonya. Namun saat itu jadwal Ibu Santi terlalu sibuk dan penuh sehingga komunikasi tidak dapat dilanjutkan. Tetapi bacaganja terus mencari klinik ganja medis dan akhirnya bekerjasama membuat program bersama dengan Thaikanya, Klinik Ganja Medis Thailand, namun sampai saat ini program masih tertunda karena biaya yang diperlukan cukup besar.

Jika memang LGN berniat membantu mempercepat akses pengobatan ganja untuk Pika, setidaknya ada langkah awal kecil yang ditunjukkan. Tetapi sebaliknya penundaan ini justru menimbulkan pertanyaan Ibu Musa, karena dibalik penundaan yang tersembunyi, ada pula penundaan perjanjian atau kepentingan transaksi yang belum selesai.
Tidak Adanya Dasar Pengetahuan Kokoh sebagai Prinsip Gerakan
Faktor pembusukan legalisasi ganja lainnya adalah tidak adanya pemahaman pengetahuan yang firm (tegas) sebagai prinsip gerakan. Bahkan kekurangan untuk menciptakan dialektika yang sangat dibutuhkan hari-hari ini untuk mengasah kemampuan berpikir sehingga mampu mengurai segala persoalan dengan baik. Narasi gerakan legalisasi berhenti sampai di ‘kami berjuang kalian bersabar’, padahal diajarkan dalam rumus fisika dasar untuk menciptakan suatu gerakan (gaya) membutuhkan gabungan massa dan percepatan (F=ma), namun sebaliknya akselerasi massa ditunda dengan kata ‘sabar’ sehingga gaya (gerakan) tidak terjadi.
Pada akhirnya gerakan legalisasi ganja hanya berhenti sampai menjual buku HPG, bahkan buku tersebut harus di revisi dan di isukan mencoret nama tokoh yang sejak awal membantu penerbitan buku di cetakan jilid ke-2. Gerakan legalisasi ganja ini perlu melebur dengan gerakan sosial lainnya agar tidak terhimpit, mengendap, dan akhirnya benar-benar membusuk.